Assalamualaikum Wr.wb to all ^^,

welcomee guys ^^,
selamat datang at my blog Pinnapinno Warawiri
semoga bermanfaat :)

Kamis, Juni 02, 2011

Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan

 
A.   Pengertian Kurikulum
Istilah “Kurikulum” memiliki berbagai tafsiran yang dirumuskan oleh pakar-pakar dalam bidang pengembangan kurikulum sejak dulu sampai dewasa ini. Tafsiran-tafsiran tersebut berbeda-beda satu dengan yang lainnya, sesuai dengan titik berat inti dan pandangan dari pakar yang bersangkutan. Istilah kurikulum berasal dari bahas latin, yakni “Curriculae”, artinya jarak yang harus ditempuh oleh seorang pelari. Pada waktu itu, pengertian kurikulum ialah jangka waktu pendidikan yang harus ditempuh oleh siswa yang bertujuan untuk memperoleh ijazah. Dengan menempuh suatu kurikulum, siswa dapat memperoleh ijazah. Dalam hal ini, ijazah pada hakikatnya merupakan suatu bukti , bahwa siswa telah menempuh kurikulum yang berupa rencana pelajaran, sebagaimana halnya seorang pelari telah menempuh suatu jarak antara satu tempat ketempat lainnya dan akhirnya mencapai finish. Dengan kata lain, suatu kurikulum dianggap sebagai jembatan yang sangat penting untuk mencapai titik akhir dari suatu perjalanan dan ditandai oleh perolehan suatu ijazah tertentu.
Di Indonesia istilah “kurikulum” boleh dikatakan baru menjadi populer sejak tahun lima puluhan, yang dipopulerkan oleh mereka yang memperoleh pendidikan di Amerika Serikat. Kini istilah itu telah dikenal orang di luar pendidikan. Sebelumnya yang lazim digunakan adalah “rencana pelajaran” pada hakikatnya kurikulum sama sama artinya dengan rencana pelajaran.
John Dewey (1902) sejak lama telah menggunakan istilah kurikulum dan
hubungannya dengan anak didik. Dewey menegaskan bahwa kurikulum dan anak
didik merupakan dua hal yang berbeda tetapi kedua-duanya adalah proses tunggal
dalam bidang pendidikan. Kurikulum merupakan suatu rekonstruksi berkelanjutan
yang memaparkan pengalaman belajar anak didik melalui suatu susunan
pengetahuan yang terorganisir dengan baik yang biasanya disebut kurikulum.

Franklin Bobbit (1918) menyatakan bahwa kurikulum adalah susunan
pengalaman belajar terarah yang digunakan oleh sekolah untuk membentangkan
kemampuan individual anak didik. Harold Rugg (1927) mengartikan kurikulum sebagai suatu rangkaian pengalaman yang memiliki kemanfaatan maksimum bagi anak didik dalam mengembangkan kemampuannya agar dapat menyesuaikan dan menghadapi berbagai situasi
kehidupan.
Hollins Caswell (1935) menyatakan bahwa kurikulum adalah susunan pengalaman
yang digunakan guru sebagai proses dan prosedur untuk membimbing anak didik
menuju ke kedewasaan.
Ralph Tyler (1957) menegaskan bahwa kurikulum adalah seluruh pengalaman
belajar yang direncanakan dan diarahkan oleh sekolah untuk mencapai tujuan
pendidikannya.
Hilda Taba (1962) mengemukakan bahwa: “A curriculum usually contains a statement of aims and of specific objectives; it indicates some selection and organization of content; it either implies or manifests certain patterns of learning and teaching, whether because the objectives demand them or because the content organization requires them. Finally, it includes a program of evaluation of the outcomes”. Pengertian kurikulum menurut Hilda Taba di atas menekankan pada tujuan suatu statemen, tujuan-tujuan khusus, memilih dan mengorganisir suatu isi, implikasi dalam pola pembelajaran dan adanya evaluasi.
Robert Gagne (1967) mengartikan bahwa kurikulum adalah suatu rangkaian unit
materi belajar yang disusun sedemikian rupa sehingga anak didik dapat
mempelajarinya berdasarkan kemampuan awal yang dimiliki/dikuasai sebelumnya.
James Popham dan Eva Baker (1970) mengatakan bahwa kurikulum adalah
seluruh hasil belajar yang direncanakan dan merupakan tanggung jawab sekolah.
Materi kurikulum mengacu kepada tujuan pengajaran yang diinginkan.
Michael Schiro (1978) mengartikan kurikulum sebagai proses pengembangan
anak didik yang diharapkan terjadi dan digunakan dalam perencanaan pengajaran.
Saylor, Alexander, dan Lewis (1981) mengartikan kurikulum sebagai suatu
rencana yang berisi sekumpulan pengalaman belajar untuk anak didik yang akan
dididik.

M. Skilbeck (1984):The learning experiences of students, in so far as they are expressed or anticipated in goals and objectivies, plans and designs for learning and implementation of these plans and design in school environments”. (pengalaman-pengalaman murid yang diekspresikan dan diantisipasikan dalam cita-cita dan tujuan-tujuan, rencana-rencana dan desain-desain untuk belajar dan implementasi dari rencana-rencana dan desain-desain tersebut di lingkungan sekolah).
Pengertian kurikulum M. Skilbeck di atas mengandung arti bahwa kurikulum itu memiliki tujuan/sasaran tertentu. Setelah tujuan/sasaran itu jelas, barulah mendesain metode pembelajaran yang menunjang proses pembelajaran terebut. Akan tetapi penerapan dari model desain system pembelajaran itu hanya terbatas pada lingkungan sekolah saja.
Kelemahan dari definisi ini adalah kegiatan yang dilakukan diluar lingkungan sekolah yang diselenggarakan sekolah tidak dianggap sebagai kurikulum walaupun menunjang proses pembelajaran. Padahal bisa saja kan kegiatan yang dilakukan diluar sekolah itu merupakan salah satu jalan untuk membuat murid-murid itu lebih mendalami pelajaran disekolah, wujud penerapannya, dan makna pendidikan.
George A. Beauchamp (1986) mengemukakan bahwa : “ A Curriculun
is a written document which may contain many ingredients, but basically it is a
plan for the education of pupils during their enrollment in given school
”.
Dalam pandangan modern, pengertian kurikulum lebih dianggap sebagai suatu
pengalaman atau sesuatu yang nyata terjadi dalam proses pendidikan, seperti
dikemukakan oleh Caswel dan Campbell (1935) yang mengatakan bahwa
kurikulum “… to be composed of all the experiences children have under the
guidance of teachers
”.
Dipertegas lagi oleh pemikiran Ronald C. Doll (1974) yang
mengatakan bahwa : “ …the curriculum has changed from content of courses
study and list of subject and courses to all experiences which are offered to
learners under the auspices or direction of school
”.
Untuk mengakomodasi perbedaan pandangan tersebut, Hamid Hasan (1988)
mengemukakan bahwa konsep kurikulum dapat ditinjau dalam empat dimensi,
yaitu:
1    kurikulum sebagai suatu ide; yang dihasilkan melalui teori-teori dan penelitian,
khususnya dalam bidang kurikulum dan pendidikan.
2.   kurikulum sebagai suatu rencana tertulis, sebagai perwujudan dari kurikulum
sebagai suatu ide; yang didalamnya memuat tentang tujuan, bahan, kegiatan, alat-
alat, dan waktu.
3.   kurikulum sebagai suatu kegiatan, yang merupakan pelaksanaan dari kurikulum
sebagai suatu rencana tertulis; dalam bentuk praktek pembelajaran.
4.   kurikulum sebagai suatu hasil yang merupakan konsekwensi dari kurikulum
sebagai suatu kegiatan, dalam bentuk ketercapaian tujuan kurikulum yakni
tercapainya perubahan perilaku atau kemampuan tertentu dari para peserta didik.

J.Wiles & J.Bondi (1989) mengemukakan bahwa “..The curriculum is a goal or a set of values, which are activated through a development for students. The degree to which those experiences are a true representation of the envisioned goal or goals is a direct function of the effectiveness of the curriculum development efforts”. (Kurikulum ialah seperangkat nilai-nilai, yang digerakkan melalui suatu pengembangan proses kulminasi dalam pengalaman-pengalaman di kelas untuk murid-murid. Tingkat terhadap pengalaman tersebut merupakan suatu representasi yang benar terhadap cita-cita yang diimpikan ialah suatu fungsi langsung daripada efektivitas dari usaha-usaha pengembangan kurikulum).
Pengertian kurikulum menurut J.Wiles & J.Bondi diatas mengandung arti bahwa kurikulum didapati dari hasil pengalaman-pengalaman di kelas yang mengalami pengembangan kulminasi (sampai puncak tertinggi/maksimal), yang kemudian diterapkan kembali dan mengalami perubahan2 yang lebih baik dari sebelumnya. Selain itu kurikulum mengandung nilai-nilai (dalam hal ini bisa ditafsirkan nilai2 yang berlaku dimasyarakat, nilai2 agama, kewarganegraan, dsb) yang sesuai dengan tujuan utama pendidikan yaitu memanusiakan manusia. Lebih lanjut, kurikuum juga harus bias merepresentasikan (mewakili) kebenaran dari cita-cita semula pada saat kurikulum itu akan dibuat, dan memiliki sisi efektivitas dalam pengembangan kurikulum dan fungsi langsung dalam masyarakat. Maksud fungsi langsung adalah langsung terlihat manfaat dari prktek-praktek berlandaskan teori yang didapat dalam pelajaran2 dari sekolah, baik yang dilakukan oleh sekolah di sekolah maupun dilakukan di luar sekolah. Efektivitas dari usaha pengembangan kurikulum maksukdnya adalah dengan sistematis dan melihat situsi kondisi pola murid-murid pada saat itu, maka disusun kurikulum yang flexible tapi tegas yang memunculkan potensi tiap individu dengan aturan-aturan yang tidak terlalu berat.

Sementara itu, Purwadi (2003) memilah pengertian kurikulum menjadi enam
bagian :
(1)   kurikulum sebagai ide;
(2)   kurikulum formal berupa dokumen yang dijadikan sebagai pedoman dan
panduan dalam melaksanakan kurikulum;
(3)   kurikulum menurut persepsi pengajar;
(4)   kurikulum operasional yang dilaksanakan atau dioprasional kan oleh pengajar
di kelas;
(5)   kurikulum experience yakni kurikulum yang dialami oleh peserta didik; dan
(6)   kurikulum yang diperoleh dari penerapan kurikulum.
Dalam perspektif kebijakan pendidikab nasional sebagaimana dapat dilihat dalam
Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional No. 20 Tahun 2003 menyatakan
bahwa: “Kurikulum adalah seperangkat rencana dan pengaturan mengenai tujuan,
isi, dan bahan pelajaran serta cara yang digunakan sebagai pedoman
penyelenggaraan pembelajaran untuk mencapai tujuan pendidikan tertentu”.
1.         Kurikulum menurut Prof. S. Nasution setelah melihat kamus Websber tahun 1812, kurikulum diberi arti “A course esp a specified fixed course study, asin a schoolor college, as on leading to degree b. the whole body of courses affored in an education institution, or department there of, the usual sense”. Di sini kurikulum khusus digunakan dalam pendidikan dan pengajaran, yakni sejumlah mata pelajaran di sekolah atau mata kuliah di perguruan tinggi yang harus ditempuh untuk mencapai suatu ijazah atau tingkat. Kompetensi merupakan pengetahuan, keterampilan dan nilai-nilai dasar yang direfleksikan dalam kebiasaan berfikir dan bertindak.
2.         Mapenda (2003) memberi pengertian bahwa kompetensi yaitu suatu pengetahuan, keterampilan dan nilai-nilai yang refleksikan dalam kebiasaan berfikir dan bertindak dan kebiasaan-kebiasaan itu harus mampu dilaksanakan secara konsistwn dan terus menerus serta mamapu untuk dilaksanakan secara konsisten dan terus menerus serta mampu untuk melakukan penyelesaian- penyelesaian dengan berbagai perubahan yang terjadi dalam kehidupan baik profesi, keahlian maupun lainnya.
3.         Departemen pendidikan nasional menyebutkan bahwa kompetensi merupakan perangkat standar program pendidikan yang dapat mengantarkan siswa untuk menjadi kompeten dalam berbagai bidang kehidupan yang dipelajarinya. Bidang-bidang kehidupan yang dipelajari tersebut memuat sejumlah kompetensi siswa sekaligus hasil belajarnya (learning outcomes).

Dalam pembelajaran yang dirancang berdasarkan kompetensi. Penilaian tidak dilakukan berdasarkan pertimbangan yang bersifat subyektif. Penilaian terhadap pencapaian kompetensi perlu dilakukan secara obyektif, berdasarkan kinerja peserta didik, dengan bukti penguasaan mereka terhadap pengetahuan, keterampilan, nilai dan sikap sebagai hasil belajar.
Sementara Unruh (1984) mengemukakan bahwa “curriculum is defined as a plan for achieving intended learning outcomes: a plan concerned with purposes, with what is to be learned, and with the result of instruction”. Ini berarti bahwa kurikulum merupakan suatu rencana untuk keberhasilan pembelajaran yang di dalamnya mencakup rencana yang berhubungan dengan tujuan, dengan apa yang harus dipelajari, dan dengan hasil dari pembelajaran.
Olivia (1997) mengatakan bahwa “We may think of the curriculum as a program, a plan, content, and learning experiences, whereas we may characterize instruction as methods, the teaching act, implementation, and presentation”. Olivia termasuk orang yang setuju dengan pemisahan antara kurikulum dengan pengajaran dan merumuskan kurikulum sebagai a plan or program for all the experiences that the learner encounters under the direction of the school.
Pendapat yang sedikit berbeda tentang kurikulum dikemukakan oleh Marsh (1997), dia mengemukakan bahwa kurikulum merupakan suatu hubungan antara perencanaan-perencanaan dengan pengalaman- pengalaman yang seorang siswa lengkapi di bawah bimbingan sekolah. Senada dengan Marsh, Schubert (1986) mengatakan “The interpretation that teachers give to subject matter and the classroom atmosphere constitutes the curriculum that students actually experience”.
Pengertian di atas menggambarkan definisi kurikulum dalam arti teknis pendidikan. Pengertian tersebut diperlukan ketika proses pengembangan kurikulum sudah menetapkan apa yang ingin dikembangkan, model apa yang seharusnya digunakan dan bagaimana suatu dokumen harus dikembangkan. Kebanyakan dari pengertian itu berorientasi pada kurikulum sebagai upaya untuk mengembangkan diri peserta didik, pengembangan disiplin ilmu, atau kurikulum untuk mempersiapkan peserta didik untuk suatu pekerjaan tertentu.
Selanjutnya Dool (1993) memperkuat pendapatnya tentang kurikulum yang ada sekarang dengan mengatakan: ”Education and curriculum have borrowed some concepts from the stable, nonechange concept – for example, children following the pattern of their parents, IQ as discovering and quantifying an innate potentiality. However, for the most part modernist curriculum thought have adopted the closed version, one where – trough focusing – knowledge is transmitted, transferred. This is, I believe, what our best contemporary schooling is all about. Transmission frames our teaching-learning process”.
Dengan transfer dan transmisi maka kurikulum menjadi suatu focus pendidikan yang ingin mengembangkan pada diri peserta didik apa yang sudah terjadi dan berkembang di masyarakat. Kurikulum tidak menempatkan peserta didik sebagai subjek yang mempersiapkan dirinya bagi kehidupan masa dating tetapi harus mengikuti berbagai hal yang dianggap berguna berdasarkan apa yang dialami oleh orang tua mereka.
Dalam konteks ini maka disiplin ilmu memiliki posisi sentral yang menonjol dalam kurikulum. Kurikulum, dan pendidikan, haruslah mentransfer berbagai disiplin ilmu sehingga peserta didik menjadi warga masyarakat yang dihormati.
Sehubungan dengan banyaknya definisi tentang kurikulum, dalam implementasi kurikulum kiranya perlu melihat definisi kurikulum yang tercantum dalam Undang-undang No. 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional pasal 1 ayat (19) yang berbunyi: kurikulum adalah seperangkat rencana dan pengaturan mengenai tujuan, isi dan bahan pelajaran serta cara yang digunakan sebagai pedoman penyelenggaraan kegiatan pembelajaran untuk mencapai tujuan pendidikan tertentu. Lebih lanjut pada pasal 36 ayat (3) disebutkan bahwa kurikulum disusun sesuai dengan jenjang dan jenis pendidikan dalam kerangka Negara Kesatuan Republik Indonesia dengan memperhatikan:
a.                            Peningkatan iman dan takwa serta akhlak mulia.
Keimanan dan ketakwaan serta akhlak mulia menjadi dasar pembentukan kepribadian peserta didik secara utuh. Kurikulum disusun yang memungkinkan semua mata pelajaran dapat menunjang peningkatan iman dan takwa serta akhlak mulia.
b.                           Peningkatan potensi, kecerdasan, dan minat sesuai dengan tingkat perkembangan dan kemampuan peserta didik.
Kurikulum disusun agar memungkinkan pengembangan keragaman potensi, minat, kecerdasan intelektual, emosional, spiritual, dan kinestetik peserta didik secara optimal sesuai dengan tingkat perkembangannya.
c.                            Keragaman potensi dan karakteristik daerah dan lingkungan.
Daerah memiliki keragaman potensi, kebutuhan, tantangan, dan keragaman karakteristik lingkungan. Karena itu, kurikulum harus memuat keragaman tersebut untuk menghasilkan lulusan yang dapat memberikan kontribusi bagi pengembangan daerah.
d.                           Tuntutan pembangunan daerah dan nasional.
Pengembangan kurikulum harus memerhatikan keseimbangan tuntutan pembangunan daerah dan nasional.
e.                            Tuntutan dunia kerja.
Kurikulum harus memuat kecakapan hidup untuk membekali peserta didik memasuki dunia kerja sesuai dengan tingkat perkembangan peserta didik dan kebutuhan dunia kerja, khususnya bagi mereka yang tidak melanjutkan ke jenjang yang lebih tinggi.
f.                            Perkembangan ilmu pengetahuan, teknologi, dan seni.
Kurikulum harus dikembangkan secara berkala dan berkesinambungan sejalan dengan perkembangan ilmu pengetahuan, teknologi, dan seni.
g.                           Agama.
Kurikulum harus dikembangkan untuk meningkatkan toleransi dan kerukunan umat beragama, dan memerhatikan norma agama yang berlaku di lingkungan sekolah.
h.                           Dinamika perkembangan global.
Kurikulum harus dikembangkan agar peserta didik mampu bersaing secara global dan dapat hidup berdampingan dengan bangsa lain.
i.                             Persatuan nasional dan nilai-nilai kebangsaan.
Kurikulum harus mendorong wawasan dan sikap kebangsaan dan persatuan nasional untuk memperkuat keutuhan bangsa dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia.
j.                             Kondisi sosial budaya masyarakat setempat.
Kurikulum harus dikembangkan dengan memerhatikan karakteristik sosial budaya masyarakat setempat dan menunjang kelestarian keragaman budaya.
k.                           Kesetaraan Gender.
Kurikulum harus diarahkan kepada pendidikan yang berkeadilan dan mendorong tumbuh kembangnya kesetaraan gender.
l.                             Karakteristik satuan pendidikan.
Kurikulum harus dikembangkan sesuai dengan visi, misi, tujuan, kondisi, ciri khas satuan pendidikan.
Pasal ini jelas menunjukkan berbagai aspek pengembangan kepribadian peserta didik yang menyeluruh dan pengembangan pembangunan masyarakat dan bangsa, ilmu, kehidupan agama, ekonomi, budaya, seni, teknologi dan tantangan kehidupan global. Artinya, kurikulum haruslah memperhatikan permasalahan ini dengan serius dan menjawab permasalahan ini dengan menyesuaikan diri pada kualitas manusia yang diharapkan dihasilkan pada setiap jenjang pendidikan.
a.  Kurikulum sebagai jalan meraih ijazah
Pada pendidikan formal terdapat jenjang-jenjang pendidikan yang selalu berakhir dengan dengan ijazah atau surat tanda tamat belajar (STTB). Seseorang yang telah mnyelesaikan satu jenjang pendidikan dalam kenyataannya telah melalui suatu jalur pacuan yang terdiri dari berbagai mata pelajaran/bidang studi beserta isi pelajarannya dan berakhir pada ijazah. Jadi, kurikulum merupakan jalan yang berisi sejumlah mata pelajaran/bidang studi dan isi pelajaran yang harus dilalui untuk meraih ijazah.
b. Kurikulum sebagai mata dan isi pelajaran
Kurikulum sebagai jalan meraih ijazah mengisyaratkan adanya sejumlah mata pelajaran/bidang studi atau isi pelajaran yang harus diselesaikan oleh siswa. Lebih jauh, orang sering menyebut bahwa isi dari pelajaran tertentu dalam program dikatakan sebgai kurikulum. Dengan demikian tidaklah mengejutkan apabila ada orang mengemukakan kurikulum sebagi mata dan isi pelajaran.
c. Kurikulum sebagai rencana dan kegiatan pembelajaran
Definisi kurikulum seperti dikemukakan oleh Winecoff ialah sebagai satu rencana yang dikembangkan untuk mendukung proses mengajar/belajar di dalam arahan dan bimbingan sekolah, akademi atau universitas dan para anggota stafnya.
d. Kurikulum sebagai hasil belajar
Semua rencana hasil belajar yang merupakan tanggungjawab sekolah adalah kurikulum. Dengan demikian kurikulum sebagai hasil belajar merupakan serangkaian pengorganisasian cara-cara sistematis untuk mewujudkan hasil belajar yang diharapkan.
e. Kurikulum sebagai pengalaman belajar
Setiap orang yang terlibat dalam pengimplementasian kurikulum tersebut akan memperoleh pengalaman belajar. Definisi ini ditunjang dengan pendapat Foshay yang mengamati bahwa istilah kurikulum didefinisikan sebagai semua pengalaman seorang siswa yang diberikan di bawah bimbingan sekolah. Kurikulum sebagai pengalaman belajar mencakup pula tugas-tugas belajar yang diberikan oleh guru untuk dikerjakan siswa di rumah.
Pengertian itu menunjukan, bahwa kegiatan-kegiatan kurikulum tidak terbatas dalam ruang kelas saja, melainkan mencakup juga kegiatan-kegiatan diluar kelas. Tidak ada pemisahan yang tegas antara intra dan ekstra kurikulum. Semua kegiatan yang memberikan pengalaman belajar/pendidikan bagi siswa pada hakikatnya adalah kurikulum.

B.   LANDASAN PENGEMBANGAN KURIKULUM

Kurikulum merupakan inti dari bidang pendidikan dan memiliki pengaruh terhadap seluruh kegiatan pendidikan. Mengingat pentingnya kurikulum dalam pendidikan dan kehidupan manusia, maka penyusunan kurikulum tidak dapat dilakukan secara sembarangan. Penyusunan kurikulum membutuhkan landasan-landasan yang kuat, yang didasarkan pada hasil-hasil pemikiran dan penelitian yang mendalam. Penyusunan kurikulum yang tidak didasarkan pada landasan yang kuat dapat berakibat fatal terhadap kegagalan pendidikan itu sendiri. Dengan sendirinya, akan berkibat pula terhadap kegagalan proses pengembangan manusia.
Kurikulum disusun untuk mewujudkan tujuan pendidikan nasional dengan memperhatikan tahap perkembangan peserta didik dan kesesuaiannya dengan lingkungan, kebutuhan pembangunan nasional, perkembangan ilmu pengetahuan dan tekhnologi serta kesenian, sesuai dengan jenis dan jenjang masing-masing satuan pendidikan. (Bab IX, Ps.37). Pengebangan kurikulum berlandaskan faktor-faktor sebagai berikut:
  1. Tujuan filsafat dan pendidikan nasional yang dijadikan sebagai dasar untuk merumuskan tujuan institusional yang pada gilirannya menjadi landasan dalam merumuskan tujuan kurikulum suatu satuan pendidikan.
  2. Sosial budaya dan agama yang berlaku dalam masyarakat kita.
  3. Perkembangan peserta didik, yang menunjuk pada karekteristik perkembangan peserta didik.
  4. Keadaan lingkungan, yang dalam arti luas meliputi lingkungan manusiawi (interpersonal), lingkungan kebudayaan termasuk iptek (kultural), dan lingkungan hidup (bioekologi), serta lingkungan alam (geoekologis).
  5. Kebutuhan pembangunan, yang mencakup kebutuhan pembangunan di bidang ekonomi, kesejahteraan rakyat, hukum, hankam, dan sebagainya.
  6. Perkembangan ilmu pengetahuan dan tekhnologi yang sesuai dengan sistem nilai dan kemanusiawian serta budaya bangsa.

Keenam faktor tersebut saling kait-mengait antara satu dengan yang lainnya.
a.       Filsafat dan tujuan pendidikan       
Filsafat pendidikan mengandung nilai-nilai atau cita-cita masyarakat. Berdasarkan cita-cita tersebut terdapat landasan, mau dibawa kemana pendidikan anak. Dengan kata lain, filsafat pendidikan merupakan pandangan hidup masyarakat. Filsafat pendidikan menjadi landasan untuk merancang tujuan pendidikan, prinsip-prinsip pembelajaran, serta perangkat pengalaman belajar yang bersifat mendidik. Filsafat pendidikan dipengeruhi oleh dua hal pokok, yakni (1). Cita-cita masyarakat, dan (2). Kebutuhan peserta didik yang hidup di masyarakat.
Nilai-nilai filsafat pendidikan harus dilaksanakan dalam perilaku sehari-hari. Hal ini menunjukkan pentingnya filsafat pendidikan sebagai landasan dalam rangka pengembangan kurikulum.
Filsafat pendidikan sebagai sumber tujuan. Filsafat pendidikan mengandung nilai-nilai atau perbuatan seseorang atau masyarakat. Dalam filsafat pendidikan terkandung cita-cita tentang model manusia yang diharapakan sesuai dengan nilai-nilai yang disetujui oleh individu dan masyarakat. Karena itu, filsafat pendidikan harus dirumuskan berdasarkan kriteria yang bersifat umum dan obyektif. Hopkin dalam bukunya Interaction The Democratic Process, mengemukakan kriteria antara lain:
1)      Kejelasan, filsafat/keyakinan harus jelas dan tidak boleh meragukan.
2)      Konsisten dengan kenyataan, berdasarkan penyelidikan yang akurat.
3)      Konsisten dengan pengalaman, yang sesuai dengan kehidupan individu.

b.      Sosial budaya dan agama yang berlaku di masyarakat
Keadaan sosial budaya dan agama tidaklah terlepas dari kehidupan kita. Keadaan sosial budayalah yang sangat berpengaruh pada diri manusia, khususnya sebagai peserta didik. Sikap atau tingkah laku seseorang sebagian besar dipengaruhi oleh interaksi sosial yang membuat sseeorang untuk bertingkah laku yang sesuai dengan kondisi lingkungan dan masyarakat sekitar. Agama yang membatasi tingkah laku kita juga sangat besar pengaruhnya dalam membuat suatu kurikulum.

c.       Perkembangan Peserta didik yang menunjuk pada karateristik perkembangannya
Setiap peserta didik pasti mempunyai karateristik yang berbeda. Dengan keadaan peserta didik yang memiliki perbedaan dalam hal kemampuan beradaptasi atau dalan hal perkembangan, tentunya juga ikut ambil bagian dalam melandasi terwujudnya kurikulum yang sesuai dengan harapan. Kurikulum akan dibuat sedemikian rupa untuk mengimbangi perkembangan peserta didiknya.

d.      Keadaaan lingkungan
Dalam arti yang luas, lingkungan merupakan suatu sistem yang disebut ekosistem, yang meliputi keseluruhan faktor lingkungan, yang tertuju pada peningkatan mutu kehidupan di atas bumi ini. Faktor-faktor dalam ekosistem itu, meliputi:
1)            Lingkungan manusiawi/interpersonal
2)            Lingkungan sosial budaya/kultural
3)            Lingkungan biologis, yang meliputi flora dan fauna
4)            Lingkungan geografis, seperti bumi, air, dan sebagainya.
Masing-masing faktor lingkungan memiliki sumber daya yang dapat digunakan sebagai modal atau kekuatan yang mempengaruhi pembangunan. Lingkungan manusiawi merupakan sumber daya menusia (SDM), baik dalam jumlah maupun dalam mutunya. Lingkungan sosial budaya merupakan sumber daya alam (SDA). Jadi ada tiga sumber daya alam (SDA). Jadi ada tiga sumber daya yang terkait erat dengan pembangunan yang berwawasan lingkungan.

e.       Kebutuhan Pembangunan
Tujuan pokok pembangunan adalah untuk menumbuhkan sikap dan tekad kemandirian manusia dan masyarakat Indonesia dalam rangka meningkatkan kualitas sumber daya manusia untuk mewujudkan kesejahteraan lahir batin yang lebih selaras, adil dan merata. Keberhasilan pembangunan ditandai oleh terciptanya suatu masyarakat yang maju, mandiri dan sejahtera.
Untuk mencapai tujuan pembangunan tersebut, maka dilaksanakan proses pembangunan yang titik beratnya terletak pada pembangunan ekonomi yang seiring dan didukung oleh pengembangan sumber daya manusia yang berkualitas, serta upaya-upaya pembangunan di sektor lainnya. Hal ini menunjuk pada kebutuhan pembangunan sesuai dengan sektor-sektor yang perlu dibangun itu sendiri, yang bidang-bidang industri, pertanian, tenaga kerja, perdagangan, transportasi, pertambangan, kehutanan, usaha nasional, pariwisata, pos dan telekomunikasi, koperasi, pembangunan daerah, kelautan, kedirgantaraan, keuangan, transmigrasi, energi dan lingkungan hidup (GBHN, 1993).
Gambaran tentang proses dan tujuan pembangunan tersebut di atas sekaligus menggambarkan kebutuhan pembangunan secara kesuluruhan. Hal mana memberikan implikasi tertentu terhadap pendidikan di perguruan tinggi. Dengan kata lain, penyelenggaraan pendidikan di perguruan tinggi harus disesuaikandan diarahkan pada upaya –upaya dan kebutuhan pembangunan, yang mencakup pembangunan ekonomi dan pengembangan sumber daya manusia yang berkualitas. Penyelenggaraan pendidikan diarahkan untuk menyiapkan peserta didik menjadi anggota masyarakat yang memiliki kemampuan keilmuan dan keahlian, yang bersifat mendukung ketercapaian cita-cita nasional, yakni suatu masyarakat yang maju, mandiri, dan sejahtera.
f.       Perkembangan Ilmu Pengetahuan dan Tekhnologi
Pembangunan didukung oleh perkembangan ilmu pengetahuan dan tekhnologi dalam rangka mempercepat terwujudnya ketangguhan dan keunggulan bangsa. Dukungan iptek terhadap pembangunan dimaksudkan untuk memacu pembangunan menuju terwujudnya masyarakat mandiri, maju dan sejahtera. Untuk mencapai tujuan dan kemampuan-kemampuan tersebut, maka ada tiga hal yang dijadikan sebagai dasar, yakni:
1)         Pembangunan iptek harus berada dalam keseimbangan yang dinamis dan efektif dengan pembinaan sumber daya manusia, pengembangan sarana dan prasarana iptek, pelaksanaan penelitian dan pengembangan serta rekayasa dan produksi barang dan jasa.
2)         Pembangunan iptek tertuju pada peningkatan kualitas, yakni untuk meningkatkan kualitas kesejahteraan dan kehidupan bangsa.
3)         Pembangunan iptek harus selaras (relevan) dengan nilai-nilai agama, nilai luhur budaya bangsa, kondisi sosial budaya, dan lingkungan hidup.
4)         Pembangunan iptek harus berpijak pada upaya peningkatan produktivitas, efisiensi dan efektivitas penelitian dan pengembangan yang lebih tinggi.
5)         Pembangunan iptek berdasarkan pada asas pemanfaatannya yang dapat memberikan pemecahan masalah konkret dalam pembangunan.

Penguasaan, pemanfaatan, dan pengembangan ilmu pengetahuan dan tekhnologi dilaksanakan oleh berbagai pihak, yakni:
1)         Pemerintah, yang mengembangkan dan memanfaatkan iptek untuk menunjang pembangunan dalam segala bidang.
2)         Masyarakat, yang memanfaatkan iptek itu untuk pengembangan masyarakat dan mengembangkannya secara swadaya.
3)         Akademisis terutama di lingkungan perguruan tinggi, mengembangkan iptek untuk disumbangkan kepada pembangunan.
4)         Pengusaha, untuk kepentingan meningkatan produktivitas.

Dalam hal ini, Nana Syaodih Sukmadinata (1997) mengemukakan empat landasan utama dalam pengembangan kurikulum, yaitu: (1) filosofis; (2) psikologis; (3) sosial-budaya; dan (4) ilmu pengetahuan dan teknologi..Untuk lebih jelasnya, di bawah ini akan diuraikan secara ringkas keempat landasan tersebut.
1.      Landasan Filosofis
Filsafat memegang peranan penting dalam pengembangan kuikulum. Sama halnya seperti dalam Filsafat Pendidikan, kita dikenalkan pada berbagai aliran filsafat, seperti : perenialisme, essensialisme, eksistesialisme, progresivisme, dan rekonstruktivisme. Dalam pengembangan kurikulum pun senantiasa berpijak pada aliran – aliran filsafat tertentu, sehingga akan mewarnai terhadap konsep dan implementasi kurikulum yang dikembangkan. Dengan merujuk kepada pemikiran Ella Yulaelawati (2003), di bawah ini diuraikan tentang isi dari-dari masing-masing aliran filsafat, kaitannya dengan pengembangan kurikulum.
a.       Perenialisme lebih menekankan pada keabadian, keidealan, kebenaran dan keindahan dari pada warisan budaya dan dampak sosial tertentu. Pengetahuan dianggap lebih penting dan kurang memperhatikan kegiatan sehari-hari. Pendidikan yang menganut faham ini menekankan pada kebenaran absolut , kebenaran universal yang tidak terikat pada tempat dan waktu. Aliran ini lebih berorientasi ke masa lalu.
b.      Essensialisme menekankan pentingnya pewarisan budaya dan pemberian pengetahuan dan keterampilan pada peserta didik agar dapat menjadi anggota masyarakat yang berguna. Matematika, sains dan mata pelajaran lainnya dianggap sebagai dasar-dasar substansi kurikulum yang berharga untuk hidup di masyarakat. Sama halnya dengan perenialisme, essesialisme juga lebih berorientasi pada masa lalu.
c.       Eksistensialisme menekankan pada individu sebagai sumber pengetahuan tentang hidup dan makna. Untuk memahami kehidupan seseorang mesti memahami dirinya sendiri. Aliran ini mempertanyakan : bagaimana saya hidup di dunia ? Apa pengalaman itu ?
d.      Progresivisme menekankan pada pentingnya melayani perbedaan individual, berpusat pada peserta didik, variasi pengalaman belajar dan proses. Progresivisme merupakan landasan bagi pengembangan belajar peserta didik aktif.
e.       Rekonstruktivisme merupakan elaborasi lanjut dari aliran progresivisme. Pada rekonstruktivisme, peradaban manusia masa depan sangat ditekankan. Di samping menekankan tentang perbedaan individual seperti pada progresivisme, rekonstruktivisme lebih jauh menekankan tentang pemecahan masalah, berfikir kritis dan sejenisnya. Aliran ini akan mempertanyakan untuk apa berfikir kritis, memecahkan masalah, dan melakukan sesuatu ? Penganut aliran ini menekankan pada hasil belajar dari pada proses.
Aliran Filsafat Perenialisme, Essensialisme, Eksistensialisme merupakan aliran filsafat yang mendasari terhadap pengembangan Model Kurikulum Subjek-Akademis. Sedangkan, filsafat progresivisme memberikan dasar bagi pengembangan Model Kurikulum Pendidikan Pribadi. Sementara, filsafat rekonstruktivisme banyak diterapkan dalam pengembangan Model Kurikulum Interaksional.
Masing-masing aliran filsafat pasti memiliki kelemahan dan keunggulan tersendiri. Oleh karena itu, dalam praktek pengembangan kurikulum, penerapan aliran filsafat cenderung dilakukan secara eklektif untuk lebih mengkompromikan dan mengakomodasikan berbagai kepentingan yang terkait dengan pendidikan. Meskipun demikian saat ini, pada beberapa negara dan khususnya di Indonesia, tampaknya mulai terjadi pergeseran landasan dalam pengembangan kurikulum, yaitu dengan lebih menitikberatkan pada filsafat rekonstruktivisme.

2.      Landasan Psikologis
Nana Syaodih Sukmadinata (1997) mengemukakan bahwa minimal terdapat dua bidang psikologi yang mendasari pengembangan kurikulum yaitu
(1) psikologi perkembangan, dan
(2) psikologi belajar
Psikologi perkembangan merupakan ilmu yang mempelajari tentang perilaku individu berkenaan dengan perkembangannya. Dalam psikologi perkembangan, dikaji tentang hakekat perkembangan, pentahapan perkembangan, aspek-aspek perkembangan, tugas-tugas perkembangan individu, serta hal-hal lainnya yang berhubungan perkembangan individu, yang semuanya dapat dijadikan sebagai bahan pertimbangan dan mendasari pengembangan kurikulum. Psikologi belajar merupakan ilmu yang mempelajari tentang perilaku individu dalam konteks belajar. Psikologi belajar mengkaji tentang hakekat belajar dan teori-teori belajar, serta berbagai aspek perilaku individu lainnya dalam belajar, yang semuanya dapat dijadikan sebagai bahan pertimbangan sekaligus mendasari pengembangan kurikulum.
Masih berkenaan dengan landasan psikologis, Ella Yulaelawati memaparkan teori-teori psikologi yang mendasari Kurikulum Berbasis Kompetensi. Dengan mengutip pemikiran Spencer, Ella Yulaelawati mengemukakan pengertian kompetensi bahwa kompetensi merupakan “karakteristik mendasar dari seseorang yang merupakan hubungan kausal dengan referensi kriteria yang efektif dan atau penampilan yang terbaik dalam pekerjaan pada suatu situasi“.
Selanjutnya, dikemukakan pula tentang 5 tipe kompetensi, yaitu :
a.     motif; sesuatu yang dimiliki seseorang untuk berfikir secara konsisten atau keinginan untuk melakukan suatu aksi.
b.     bawaan; yaitu karakteristik fisik yang merespons secara konsisten berbagai situasi atau informasi.
c.     konsep diri; yaitu tingkah laku, nilai atau image seseorang;
d.    pengetahuan; yaitu informasi khusus yang dimiliki seseorang; dan
e.     keterampilan; yaitu kemampuan melakukan tugas secara fisik maupun mental.
Kelima kompetensi tersebut mempunyai implikasi praktis terhadap perencanaan sumber daya manusia atau pendidikan. Keterampilan dan pengetahuan cenderung lebih tampak pada permukaan ciri-ciri seseorang, sedangkan konsep diri, bawaan dan motif lebih tersembunyi dan lebih mendalam serta merupakan pusat kepribadian seseorang. Kompetensi permukaan (pengetahuan dan keterampilan) lebih mudah dikembangkan. Pelatihan merupakan hal tepat untuk menjamin kemampuan ini. Sebaliknya, kompetensi bawaan dan motif jauh lebih sulit untuk dikenali dan dikembangkan.
Dalam konteks Kurikulum Berbasis Kompetensi, E. Mulyasa (2002) menyoroti tentang aspek perbedaan dan karakteristik peserta didik, Dikemukakannya, bahwa sedikitnya terdapat lima perbedaan dan karakteristik peserta didik yang perlu diperhatikan dalam Kurikulum Berbasis Kompetensi, yaitu :
(1) perbedaan tingkat kecerdasan;
(2) perbedaan kreativitas;
(3) perbedaan cacat fisik;
(4) kebutuhan peserta didik; dan
(5) pertumbuhan dan perkembangan kognitif.

3.      Landasan Sosial-Budaya
Kurikulum dapat dipandang sebagai suatu rancangan pendidikan. Sebagai suatu rancangan, kurikulum menentukan pelaksanaan dan hasil pendidikan. Kita maklumi bahwa pendidikan merupakan usaha mempersiapkan peserta didik untuk terjun ke lingkungan masyarakat. Pendidikan bukan hanya untuk pendidikan semata, namun memberikan bekal pengetahuan, keterampilan serta nilai-nilai untuk hidup, bekerja dan mencapai perkembangan lebih lanjut di masyarakat.
Peserta didik berasal dari masyarakat, mendapatkan pendidikan baik formal maupun informal dalam lingkungan masyarakat dan diarahkan bagi kehidupan masyarakat pula. Kehidupan masyarakat, dengan segala karakteristik dan kekayaan budayanya menjadi landasan dan sekaligus acuan bagi pendidikan. Dengan pendidikan, kita tidak mengharapkan muncul manusia – manusia yang menjadi terasing dari lingkungan masyarakatnya, tetapi justru melalui pendidikan diharapkan dapat lebih mengerti dan mampu membangun kehidupan masyakatnya. Oleh karena itu, tujuan, isi, maupun proses pendidikan harus disesuaikan dengan kebutuhan, kondisi, karakteristik, kekayaan dan perkembangan yang ada di masyakarakat.
Setiap lingkungan masyarakat masing-masing memiliki sistem-sosial budaya tersendiri yang mengatur pola kehidupan dan pola hubungan antar anggota masyarakat. Salah satu aspek penting dalam sistem sosial budaya adalah tatanan nilai-nilai yang mengatur cara berkehidupan dan berperilaku para warga masyarakat. Nilai-nilai tersebut dapat bersumber dari agama, budaya, politik atau segi-segi kehidupan lainnya.
Sejalan dengan perkembangan masyarakat maka nilai-nilai yang ada dalam masyarakat juga turut berkembang sehingga menuntut setiap warga masyarakat untuk melakukan perubahan dan penyesuaian terhadap tuntutan perkembangan yang terjadi di sekitar masyarakat.
Israel Scheffer (Nana Syaodih Sukmadinata, 1997) mengemukakan bahwa melalui pendidikan manusia mengenal peradaban masa lalu, turut serta dalam peradaban sekarang dan membuat peradaban masa yang akan datang.
Dengan demikian, kurikulum yang dikembangkan sudah seharusnya mempertimbangkan, merespons dan berlandaskan pada perkembangan sosial – budaya dalam suatu masyarakat, baik dalam konteks lokal, nasional maupun global.

4.      Landasan Ilmu Pengetahuan dan Teknologi
Pada awalnya, ilmu pengetahuan dan teknologi yang dimiliki manusia masih relatif sederhana, namun sejak abad pertengahan mengalami perkembangan yang pesat. Berbagai penemuan teori-teori baru terus berlangsung hingga saat ini dan dipastikan kedepannya akan terus semakin berkembang. Akal manusia telah mampu menjangkau hal-hal yang sebelumnya merupakan sesuatu yang tidak mungkin. Pada jaman dahulu kala, mungkin orang akan menganggap mustahil kalau manusia bisa menginjakkan kaki di Bulan, tetapi berkat kemajuan dalam bidang Ilmu Pengetahuan dan Teknologi pada pertengahan abad ke-20, pesawat Apollo berhasil mendarat di Bulan dan Neil Amstrong merupakan orang pertama yang berhasil menginjakkan kaki di Bulan.
Kemajuan cepat dunia dalam bidang informasi dan teknologi dalam dua dasa warsa terakhir telah berpengaruh pada peradaban manusia melebihi jangkauan pemikiran manusia sebelumnya. Pengaruh ini terlihat pada pergeseran tatanan sosial, ekonomi dan politik yang memerlukan keseimbangan baru antara nilai-nilai, pemikiran dan cara-cara kehidupan yang berlaku pada konteks global dan lokal.
Selain itu, dalam abad pengetahuan sekarang ini, diperlukan masyarakat yang berpengetahuan melalui belajar sepanjang hayat dengan standar mutu yang tinggi. Sifat pengetahuan dan keterampilan yang harus dikuasai masyarakat sangat beragam dan canggih, sehingga diperlukan kurikulum yang disertai dengan kemampuan meta-kognisi dan kompetensi untuk berfikir dan belajar bagaimana belajar (learning to learn) dalam mengakses, memilih dan menilai pengetahuan, serta mengatasi siatuasi yang ambigu dan antisipatif terhadap ketidakpastian.
Perkembangan dalam bidang Ilmu Pengetahuan dan Teknologi, terutama dalam bidang transportasi dan komunikasi telah mampu merubah tatanan kehidupan manusia. Oleh karena itu, kurikulum seyogyanya dapat mengakomodir dan mengantisipasi laju perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, sehingga peserta didik dapat mengimbangi dan sekaligus mengembangkan ilmu pengetahuan dan teknologi untuk kemaslahatan dan kelangsungan hidup manusia.

C.   Komponen – komponen Utama dalam Kurikulum
Kurikulum memiliki lima komponen utama, yaitu : (1) tujuan; (2) materi; (3) strategi, pembelajaran; (4) organisasi kurikulum dan (5) evaluasi. Kelima komponen tersebut memiliki keterkaitan yang erat dan tidak bisa dipisahkan. Untuk lebih jelasnya, di bawah ini akan diuraikan tentang masing-masing komponen tersebut.
1.      Tujuan
Mengingat pentingnya pendidikan bagi manusia, hampir di setiap negara telah mewajibkan para warganya untuk mengikuti kegiatan pendidikan, melalui berbagai ragam teknis penyelenggaraannya, yang disesuaikan dengan falsafah negara, keadaan sosial-politik kemampuan sumber daya dan keadaan lingkungannya masing-masing. Kendati demikian, dalam hal menentukan tujuan pendidikan pada dasarnya memiliki esensi yang sama. Seperti yang disampaikan oleh Hummel (Uyoh Sadulloh, 1994) bahwa tujuan pendidikan secara universal akan menjangkau tiga jenis nilai utama yaitu:
1.         Autonomy; gives individuals and groups the maximum awarenes, knowledge, and ability so that they can manage their personal and collective life to the greatest possible extent.
2.         Equity; enable all citizens to participate in cultural and economic life by coverring them an equal basic education.
3.         Survival ; permit every nation to transmit and enrich its cultural heritage over the generation but also guide education towards mutual understanding and towards what has become a worldwide realization of common destiny.)
Dalam perspektif pendidikan nasional, tujuan pendidikan nasional dapat dilihat secara jelas dalam Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistrm Pendidikan Nasional, bahwa : ” Pendidikan nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab”.
Tujuan pendidikan nasional yang merupakan pendidikan pada tataran makroskopik, selanjutnya dijabarkan ke dalam tujuan institusional yaitu tujuan pendidikan yang ingin dicapai dari setiap jenis maupun jenjang sekolah atau satuan pendidikan tertentu.
Dalam Permendiknas No. 22 Tahun 2007 dikemukakan bahwa tujuan pendidikan tingkat satuan pendidikan dasar dan menengah dirumuskan mengacu kepada tujuan umum pendidikan berikut.
1.         Tujuan pendidikan dasar adalah meletakkan dasar kecerdasan, pengetahuan, kepribadian, akhlak mulia, serta keterampilan untuk hidup mandiri dan mengikuti pendidikan lebih lanjut.
2.         Tujuan pendidikan menengah adalah meningkatkan kecerdasan, pengetahuan, kepribadian, akhlak mulia, serta keterampilan untuk hidup mandiri dan mengikuti pendidikan lebih lanjut.
3.         Tujuan pendidikan menengah kejuruan adalah meningkatkan kecerdasan, pengetahuan, kepribadian, akhlak mulia, serta keterampilan untuk hidup mandiri dan mengikuti pendidikan lebih lanjut sesuai dengan kejuruannya.
Tujuan pendidikan institusional tersebut kemudian dijabarkan lagi ke dalam tujuan kurikuler; yaitu tujuan pendidikan yang ingin dicapai dari setiap mata pelajaran yang dikembangkan di setiap sekolah atau satuan pendidikan.
Tujuan-tujuan pendidikan mulai dari pendidikan nasional sampai dengan tujuan mata pelajaran masih bersifat abstrak dan konseptual, oleh karena itu perlu dioperasionalkan dan dijabarkan lebih lanjut dalam bentuk tujuan pembelajaran. Tujuan pembelajaran merupakan tujuan pendidikan yang lebih operasional, yang hendak dicapai dari setiap kegiatan pembelajaran dari setiap mata pelajaran.
Pada tingkat operasional ini, tujuan pendidikan dirumuskan lebih bersifat spesifik dan lebih menggambarkan tentang “what will the student be able to do as result of the teaching that he was unable to do before” (Rowntree dalam Nana Syaodih Sukmadinata, 1997). Dengan kata lain, tujuan pendidikan tingkat operasional ini lebih menggambarkan perubahan perilaku spesifik apa yang hendak dicapai peserta didik melalui proses pembelajaran. Merujuk pada pemikiran Bloom, maka perubahan perilaku tersebut meliputi perubahan dalam aspek kognitif, afektif dan psikomotor.
Lebih jauh lagi, dengan mengutip dari beberapa ahli, Nana Syaodih Sukmadinata (1997) memberikan gambaran spesifikasi dari tujuan yang ingin dicapai pada tujuan pembelajaran, yakni :
1.         Menggambarkan apa yang diharapkan dapat dilakukan oleh peserta didik, dengan :
(a)     menggunakan kata-kata kerja yang menunjukkan perilaku yang dapat diamati;
(b)     menunjukkan stimulus yang membangkitkan perilaku peserta didik; dan
(c)     memberikan pengkhususan tentang sumber-sumber yang dapat digunakan peserta didik dan orang-orang yang dapat diajak bekerja sama.
2.         Menunjukkan perilaku yang diharapkan dilakukan oleh peserta didik, dalam bentuk:
(a) ketepatan atau ketelitian respons;
(b) kecepatan, panjangnya dan frekuensi respons.
3.         Menggambarkan kondisi-kondisi atau lingkungan yang menunjang perilaku peserta didik berupa :
(a) kondisi atau lingkungan fisik; dan
(b) kondisi atau lingkungan psikologis.
Upaya pencapaian tujuan pembelajaran ini memiliki arti yang sangat penting.. Keberhasilan pencapaian tujuan pembelajaran pada tingkat operasional ini akan menentukan terhadap keberhasilan tujuan pendidikan pada tingkat berikutnya.
Terlepas dari rangkaian tujuan di atas bahwa perumusan tujuan kurikulum sangat terkait erat dengan filsafat yang melandasinya. Jika kurikulum yang dikembangkan menggunakan dasar filsafat klasik (perenialisme, essensialisme, eksistensialisme) sebagai pijakan utamanya maka tujuan kurikulum lebih banyak diarahkan pada pencapaian penguasaan materi dan cenderung menekankan pada upaya pengembangan aspek intelektual atau aspek kognitif.
Apabila kurikulum yang dikembangkan menggunakan filsafat progresivisme sebagai pijakan utamanya, maka tujuan pendidikan lebih diarahkan pada proses pengembangan dan aktualisasi diri peserta didik dan lebih berorientasi pada upaya pengembangan aspek afektif.
Pengembangan kurikulum dengan menggunakan filsafat rekonsktruktivisme sebagai dasar utamanya, maka tujuan pendidikan banyak diarahkan pada upaya pemecahan masalah sosial yang krusial dan kemampuan bekerja sama.
Sementara kurikulum yang dikembangkan dengan menggunakan dasar filosofi teknologi pendidikan dan teori pendidikan teknologis, maka tujuan pendidikan lebih diarahkan pada pencapaian kompetensi.
Dalam implementasinnya bahwa untuk mengembangkan pendidikan dengan tantangan yang sangat kompleks boleh dikatakan hampir tidak mungkin untuk merumuskan tujuan-tujuan kurikulum dengan hanya berpegang pada satu filsafat, teori pendidikan atau model kurikulum tertentu secara konsisten dan konsekuen. Oleh karena itu untuk mengakomodir tantangan dan kebutuhan pendidikan yang sangat kompleks sering digunakan model eklektik, dengan mengambil hal-hal yang terbaik dan memungkinkan dari seluruh aliran filsafat yang ada, sehingga dalam menentukan tujuan pendidikan lebih diusahakan secara bereimbang. .
2.      Materi Pembelajaran
Dalam menentukan materi pembelajaran atau bahan ajar tidak lepas dari filsafat dan teori pendidikan dikembangkan. Seperti telah dikemukakan di atas bahwa pengembangan kurikulum yang didasari filsafat klasik (perenialisme, essensialisme, eksistensialisme) penguasaan materi pembelajaran menjadi hal yang utama. Dalam hal ini, materi pembelajaran disusun secara logis dan sistematis, dalam bentuk :
1.         Teori; seperangkat konstruk atau konsep, definisi atau preposisi yang saling berhubungan, yang menyajikan pendapat sistematik tentang gejala dengan menspesifikasi hubungan – hubungan antara variabel-variabel dengan maksud menjelaskan dan meramalkan gejala tersebut.
  1. Konsep; suatu abstraksi yang dibentuk oleh organisasi dari kekhususan-kekhususan, merupakan definisi singkat dari sekelompok fakta atau gejala.
  2. Generalisasi; kesimpulan umum berdasarkan hal-hal yang khusus, bersumber dari analisis, pendapat atau pembuktian dalam penelitian.
  3. Prinsip; yaitu ide utama, pola skema yang ada dalam materi yang mengembangkan hubungan antara beberapa konsep.
  4. Prosedur; yaitu seri langkah-langkah yang berurutan dalam materi pelajaran yang harus dilakukan peserta didik.
  5. Fakta; sejumlah informasi khusus dalam materi yang dianggap penting, terdiri dari terminologi, orang dan tempat serta kejadian.
  6. Istilah, kata-kata perbendaharaan yang baru dan khusus yang diperkenalkan dalam materi.
  7. Contoh/ilustrasi, yaitu hal atau tindakan atau proses yang bertujuan untuk memperjelas suatu uraian atau pendapat.
  8. Definisi:yaitu penjelasan tentang makna atau pengertian tentang suatu hal/kata dalam garis besarnya.
  9. Preposisi, yaitu cara yang digunakan untuk menyampaikan materi pelajaran dalam upaya mencapai tujuan kurikulum.
Materi pembelajaran yang didasarkan pada filsafat progresivisme lebih memperhatikan tentang kebutuhan, minat, dan kehidupan peserta didik. Oleh karena itu, materi pembelajaran harus diambil dari dunia peserta didik dan oleh peserta didik itu sendiri. Materi pembelajaran yang didasarkan pada filsafat konstruktivisme, materi pembelajaran dikemas sedemikian rupa dalam bentuk tema-tema dan topik-topik yang diangkat dari masalah-masalah sosial yang krusial, misalnya tentang ekonomi, sosial bahkan tentang alam. Materi pembelajaran yang berlandaskan pada teknologi pendidikan banyak diambil dari disiplin ilmu, tetapi telah diramu sedemikian rupa dan diambil hal-hal yang esensialnya saja untuk mendukung penguasaan suatu kompetensi. Materi pembelajaran atau kompetensi yang lebih luas dirinci menjadi bagian-bagian atau sub-sub kompetensi yang lebih kecil dan obyektif.
Dengan melihat pemaparan di atas, tampak bahwa dilihat dari filsafat yang melandasi pengembangam kurikulum terdapat perbedaan dalam menentukan materi pembelajaran,. Namun dalam implementasinya sangat sulit untuk menentukan materi pembelajaran yang beranjak hanya dari satu filsafat tertentu., maka dalam prakteknya cenderung digunakan secara eklektik dan fleksibel.
Berkenaan dengan penentuan materi pembelajaran dalam Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan, pendidik memiliki wewenang penuh untuk menentukan materi pembelajaran, sesuai dengan standar kompetensi dan kompetensi dasar yang hendak dicapai dari setiap kegiatan pembelajaran. Dalam prakteknya untuk menentukan materi pembelajaran perlu memperhatikan hal-hal berikut :.
1.         Sahih (valid); dalam arti materi yang dituangkan dalam pembelajaran benar-benar telah teruji kebenaran dan kesahihannya. Di samping itu, juga materi yang diberikan merupakan materi yang aktual, tidak ketinggalan zaman, dan memberikan kontribusi untuk pemahaman ke depan.
2.         Tingkat kepentingan; materi yang dipilih benar-benar diperlukan peserta didik. Mengapa dan sejauh mana materi tersebut penting untuk dipelajari.
3.         Kebermaknaan; materi yang dipilih dapat memberikan manfaat akademis maupun non akademis. Manfaat akademis yaitu memberikan dasar-dasar pengetahuan dan keterampilan yang akan dikembangkan lebih lanjut pada jenjang pendidikan lebih lanjut. Sedangkan manfaat non akademis dapat mengembangkan kecakapan hidup dan sikap yang dibutuhkan dalam kehidupan sehari-hari.
4.         Layak dipelajari; materi memungkinkan untuk dipelajari, baik dari aspek tingkat kesulitannya (tidak terlalu mudah dan tidak terlalu sulit) maupun aspek kelayakannya terhadap pemanfaatan materi dan kondisi setempat.
5.         Menarik minat; materi yang dipilih hendaknya menarik minat dan dapat memotivasi peserta didik untuk mempelajari lebih lanjut, menumbuhkan rasa ingin tahu sehingga memunculkan dorongan untuk mengembangkan sendiri kemampuan mereka.
Terlepas dari filsafat yang mendasari pengembangan materi, Nana Syaodih Sukamadinata (1997) mengetengahkan tentang sekuens susunan materi pembelajaran, yaitu :
  1. Sekuens kronologis; susunan materi pembelajaran yang mengandung urutan waktu.
  2. Sekuens kausal; susunan materi pembelajaran yang mengandung hubungan sebab-akibat.
  3. Sekuens struktural; susunan materi pembelajaran yang mengandung struktur materi.
  4. Sekuens logis dan psikologis; sekuensi logis merupakan susunan materi pembelajaran dimulai dari bagian menuju pada keseluruhan, dari yang sederhana menuju kepada yang kompleks. Sedangkan sekuens psikologis sebaliknya dari keseluruhan menuju bagian-bagian, dan dari yang kompleks menuju yang sederhana. Menurut sekuens logis materi pembelajaran disusun dari nyata ke abstrak, dari benda ke teori, dari fungsi ke struktur, dari masalah bagaimana ke masalah mengapa.
  5. Sekuens spiral ; susunan materi pembelajaran yang dipusatkan pada topik atau bahan tertentu yang populer dan sederhana, kemudian dikembangkan, diperdalam dan diperluas dengan bahan yang lebih kompleks.
  6. Sekuens rangkaian ke belakang; dalam sekuens ini mengajar dimulai dengan langkah akhir dan mundur kebelakang. Contoh pemecahan masalah yang bersifat ilmiah, meliputi 5 langkah sebagai berikut : (a) pembatasan masalah; (b) penyusunan hipotesis; (c) pengumpulan data; (d) pengujian hipotesis; dan (e) interpretasi hasil tes.
  7. Dalam mengajarnya, guru memulai dengan langkah (a) sampai (d), dan peserta didik diminta untuk membuat interprestasi hasilnya (e). Pada kasempatan lain guru menyajikan data tentang masalah lain dari langkah (a) sampai (c) dan peserta didik diminta untuk mengadakan pengetesan hipotesis (d) dan seterusnya.
  8. Sekuens berdasarkan hierarki belajar; prosedur pembelajaran dimulai menganalisis tujuan-tujuan yang ingin dicapai, kemudian dicari suatu hierarki urutan materi pembelajaran untuk mencapai tujuan atau kompetensi tersebut. Hierarki tersebut menggambarkan urutan perilaku apa yang mula-mula harus dikuasai peserta didik, berturut-berturut sampai dengan perilaku terakhir.
3.      Strategi pembelajaran
Telah disampaikan di atas bahwa dilihat dari filsafat dan teori pendidikan yang melandasi pengembangan kurikulum terdapat perbedaan dalam menentukan tujuan dan materi pembelajaran, hal ini tentunya memiliki konsekuensi pula terhadap penentuan strategi pembelajaran yang hendak dikembangkan. Apabila yang menjadi tujuan dalam pembelajaran adalah penguasaan informasi-intelektual,–sebagaimana yang banyak dikembangkan oleh kalangan pendukung filsafat klasik dalam rangka pewarisan budaya ataupun keabadian, maka strategi pembelajaran yang dikembangkan akan lebih berpusat kepada guru. Guru merupakan tokoh sentral di dalam proses pembelajaran dan dipandang sebagai pusat informasi dan pengetahuan. Sedangkan peserta didik hanya dianggap sebagai obyek yang secara pasif menerima sejumlah informasi dari guru. Metode dan teknik pembelajaran yang digunakan pada umumnya bersifat penyajian (ekspositorik) secara massal, seperti ceramah atau seminar. Selain itu, pembelajaran cenderung lebih bersifat tekstual.
Strategi pembelajaran yang berorientasi pada guru tersebut mendapat reaksi dari kalangan progresivisme. Menurut kalangan progresivisme, yang seharusnya aktif dalam suatu proses pembelajaran adalah peserta didik itu sendiri. Peserta didik secara aktif menentukan materi dan tujuan belajarnya sesuai dengan minat dan kebutuhannya, sekaligus menentukan bagaimana cara-cara yang paling sesuai untuk memperoleh materi dan mencapai tujuan belajarnya. Pembelajaran yang berpusat pada peserta didik mendapat dukungan dari kalangan rekonstruktivisme yang menekankan pentingnya proses pembelajaran melalui dinamika kelompok.
Pembelajaran cenderung bersifat kontekstual, metode dan teknik pembelajaran yang digunakan tidak lagi dalam bentuk penyajian dari guru tetapi lebih bersifat individual, langsung, dan memanfaatkan proses dinamika kelompok (kooperatif), seperti : pembelajaran moduler, obeservasi, simulasi atau role playing, diskusi, dan sejenisnya.
Dalam hal ini, guru tidak banyak melakukan intervensi. Peran guru hanya sebagai fasilitator, motivator dan guider. Sebagai fasilitator, guru berusaha menciptakan dan menyediakan lingkungan belajar yang kondusif bagi peserta didiknya. Sebagai motivator, guru berupaya untuk mendorong dan menstimulasi peserta didiknya agar dapat melakukan perbuatan belajar. Sedangkan sebagai guider, guru melakukan pembimbingan dengan berusaha mengenal para peserta didiknya secara personal.
Selanjutnya, dengan munculnya pembelajaran berbasis teknologi yang menekankan pentingnya penguasaan kompetensi membawa implikasi tersendiri dalam penentuan strategi pembelajaran. Meski masih bersifat penguasaan materi atau kompetensi seperti dalam pendekatan klasik, tetapi dalam pembelajaran teknologis masih dimungkinkan bagi peserta didik untuk belajar secara individual. Dalam pembelajaran teknologis dimungkinkan peserta didik untuk belajar tanpa tatap muka langsung dengan guru, seperti melalui internet atau media elektronik lainnya. Peran guru dalam pembelajaran teknologis lebih cenderung sebagai director of learning, yang berupaya mengarahkan dan mengatur peserta didik untuk melakukan perbuatan-perbuatan belajar sesuai dengan apa yang telah didesain sebelumnya.
Berdasarkan uraian di atas, ternyata banyak kemungkinan untuk menentukan strategi pembelajaran dan setiap strategi pembelajaran memiliki kelemahan dan keunggulannya tersendiri.
Terkait dengan Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan, belakangan ini mulai muncul konsep pembelajaran dengan isitilah PAKEM, yang merupakan akronim dari Pembelajaran Aktif, Kreatif, Efektif dan Menyenangkan. Oleh karena itu, dalam prakteknya seorang guru seyogyanya dapat mengembangkan strategi pembelajaran secara variatif, menggunakan berbagai strategi yang memungkinkan siswa untuk dapat melaksanakan proses belajarnya secara aktif, kreatif dan menyenangkan, dengan efektivitas yang tinggi.
4.      Organisasi Kurikulum
Beragamnya pandangan yang mendasari pengembangan kurikulum memunculkan terjadinya keragaman dalam mengorgansiasikan kurikulum. Setidaknya terdapat enam ragam pengorganisasian kurikulum, yaitu:
  1. Mata pelajaran terpisah (isolated subject); kurikulum terdiri dari sejumlah mata pelajaran yang terpisah-pisah, yang diajarkan sendiri-sendiri tanpa ada hubungan dengan mata pelajaran lainnya. Masing-masing diberikan pada waktu tertentu dan tidak mempertimbangkan minat, kebutuhan, dan kemampuan peserta didik, semua materi diberikan sama
  2. Mata pelajaran berkorelasi; korelasi diadakan sebagai upaya untuk mengurangi kelemahan-kelemahan sebagai akibat pemisahan mata pelajaran. Prosedur yang ditempuh adalah menyampaikan pokok-pokok yang saling berkorelasi guna memudahkan peserta didik memahami pelajaran tertentu.
  3. Bidang studi (broad field); yaitu organisasi kurikulum yang berupa pengumpulan beberapa mata pelajaran yang sejenis serta memiliki ciri-ciri yang sama dan dikorelasikan (difungsikan) dalam satu bidang pengajaran. Salah satu mata pelajaran dapat dijadikan “core subject”, dan mata pelajaran lainnya dikorelasikan dengan core tersebut.
  4. Program yang berpusat pada anak (child centered), yaitu program kurikulum yang menitikberatkan pada kegiatan-kegiatan peserta didik, bukan pada mata pelajaran.
  5. Inti Masalah (core program), yaitu suatu program yang berupa unit-unit masalah, dimana masalah-masalah diambil dari suatu mata pelajaran tertentu, dan mata pelajaran lainnya diberikan melalui kegiatan-kegiatan belajar dalam upaya memecahkan masalahnya. Mata pelajaran-mata pelajaran yang menjadi pisau analisisnya diberikan secara terintegrasi.
  6. Ecletic Program, yaitu suatu program yang mencari keseimbangan antara organisasi kurikulum yang terpusat pada mata pelajaran dan peserta didik.
Berkenaan dengan Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan, tampaknya lebih cenderung menggunakan pengorganisasian yang bersifat eklektik, yang terbagi ke dalam lima kelompok mata pelajaran, yaitu : (1) kelompok mata pelajaran agama dan akhlak mulia; (2) kelompok mata pelajaran kewarganegaraan dan kepribadian; (3) kelompok mata pelajaran ilmu pengetahuan dan teknologi; (4) kelompok mata pelajaran estetika; dan (5) kelompok mata pelajaran jasmani, olahraga dan kesehatan.
Kelompok-kelompok mata pelajaran tersebut selanjutnya dijabarkan lagi ke dalam sejumlah mata pelajaran tertentu, yang disesuaikan dengan jenjang dan jenis sekolah. Di samping itu, untuk memenuhi kebutuhan lokal disediakan mata pelajaran muatan lokal serta untuk kepentingan penyaluran bakat dan minat peserta didik disediakan kegiatan pengembangan diri.
5.      Evaluasi Kurikulum
Evaluasi merupakan salah satu komponen kurikulum. Dalam pengertian terbatas, evaluasi kurikulum dimaksudkan untuk memeriksa tingkat ketercapaian tujuan-tujuan pendidikan yang ingin diwujudkan melalui kurikulum yang bersangkutan. Sebagaimana dikemukakan oleh Wright bahwa : “curriculum evaluation may be defined as the estimation of growth and progress of students toward objectives or values of the curriculum
Sedangkan dalam pengertian yang lebih luas, evaluasi kurikulum dimaksudkan untuk memeriksa kinerja kurikulum secara keseluruhan ditinjau dari berbagai kriteria. Indikator kinerja yang dievaluasi tidak hanya terbatas pada efektivitas saja, namun juga relevansi, efisiensi, kelaikan (feasibility) program. Sementara itu, Hilda Taba menjelaskan hal-hal yang dievaluasi dalam kurikulum, yaitu meliputi ; “ objective, it’s scope, the quality of personnel in charger of it, the capacity of students, the relative importance of various subject, the degree to which objectives are implemented, the equipment and materials and so on.”
Pada bagian lain, dikatakan bahwa luas atau tidaknya suatu program evaluasi kurikulum sebenarnya ditentukan oleh tujuan diadakannya evaluasi kurikulum. Apakah evaluasi tersebut ditujukan untuk mengevaluasi keseluruhan sistem kurikulum atau komponen-komponen tertentu saja dalam sistem kurikulum tersebut. Salah satu komponen kurikulum penting yang perlu dievaluasi adalah berkenaan dengan proses dan hasil belajar siswa.
Agar hasil evaluasi kurikulum tetap bermakna diperlukan persyaratan-persyaratan tertentu. Dengan mengutip pemikian Doll, dikemukakan syarat-syarat evaluasi kurikulum yaitu “acknowledge presence of value and valuing, orientation to goals, comprehensiveness, continuity, diagnostics worth and validity and integration.”
Evaluasi kurikulum juga bervariasi, bergantung pada dimensi-dimensi yang menjadi fokus evaluasi. Salah satu dimensi yang sering mendapat sorotan adalah dimensi kuantitas dan kualitas. Instrumen yang digunakan untuk mengevaluasi diemensi kuantitaif berbeda dengan dimensi kualitatif. Instrumen yang digunakan untuk mengevaluasi dimensi kuantitatif, seperti tes standar, tes prestasi belajar, tes diagnostik dan lain-lain. Sedangkan, instrumen untuk mengevaluasi dimensi kualitatif dapat digunakan, questionnare, inventori, interview, catatan anekdot dan sebagainya
Evaluasi kurikulum memegang peranan penting, baik untuk penentuan kebijakan pendidikan pada umumnya maupun untuk pengambilan keputusan dalam kurikulum itu sendiri. Hasil-hasil evaluasi kurikulum dapat digunakan oleh para pemegang kebijakan pendidikan dan para pengembang kurikulum dalam memilih dan menetapkan kebijakan pengembangan sistem pendidikan dan pengembangan model kurikulum yang digunakan.
Hasil – hasil evaluasi kurikulum juga dapat digunakan oleh guru-guru, kepala sekolah dan para pelaksana pendidikan lainnya dalam memahami dan membantu perkembangan peserta didik, memilih bahan pelajaran, memilih metode dan alat-alat bantu pelajaran, cara penilaian serta fasilitas pendidikan lainnya. (disarikan dari Nana Syaodih Sukmadinata, 1997)
Selanjutnya, Nana Syaodih Sukmadinata (1997) mengemukakan tiga pendekatan dalam evaluasi kurikulum, yaitu : (1) pendekatan penelitian (analisis komparatif); (2) pendekatan obyektif; dan (3) pendekatan campuran multivariasi.
Di samping itu, terdapat beberapa model evaluasi kurikulum, diantaranya adalah Model CIPP (Context, Input, Process dan Product) yang bertitik tolak pada pandangan bahwa keberhasilan progran pendidikan dipengaruhi oleh berbagai faktor, seperti : karakteristik peserta didik dan lingkungan, tujuan program dan peralatan yang digunakan, prosedur dan mekanisme pelaksanaan program itu sendiri. Evaluasi model ini bermaksud membandingkan kinerja (performance) dari berbagai dimensi program dengan sejumlah kriteria tertentu, untuk akhirnya sampai pada deskripsi dan judgment mengenai kekuatan dan kelemahan program yang dievaluasi. Model ini kembangkan oleh Stufflebeam (1972) menggolongkan program pendidikan atas empat dimensi, yaitu : Context, Input, Process dan Product. Menurut model ini keempat dimensi program tersebut perlu dievaluasi sebelum, selama dan sesudah program pendidikan dikembangkan. Penjelasan singkat dari keempat dimensi tersebut adalah, sebagai berikut :
  1. Context; yaitu situasi atau latar belakang yang mempengaruhi jenis-jenis tujuan dan strategi pendidikan yang akan dikembangkan dalam program yang bersangkutan, seperti : kebijakan departemen atau unit kerja yang bersangkutan, sasaran yang ingin dicapai oleh unit kerja dalam kurun waktu tertentu, masalah ketenagaan yang dihadapi dalam unit kerja yang bersangkutan, dan sebagainya.
  2. Input; bahan, peralatan, fasilitas yang disiapkan untuk keperluan pendidikan, seperti : dokumen kurikulum, dan materi pembelajaran yang dikembangkan, staf pengajar, sarana dan pra sarana, media pendidikan yang digunakan dan sebagainya.
  3. Process; pelaksanaan nyata dari program pendidikan tersebut, meliputi : pelaksanaan proses belajar mengajar, pelaksanaan evaluasi yang dilakukan oleh para pengajar, penglolaan program, dan lain-lain.
  4. Product; keseluruhan hasil yang dicapai oleh program pendidikan, mencakup : jangka pendek dan jangka lebih panjang.
D.   Prinsip – Prinsip Pengembangan Kurikulum
Pengembangan kurikulum adalah istilah yang komprehensif, didalamnya mencakup: perencanaan, penerapan dan evaluasi. Perencanaan kurikulum adalah langkah awal membangun kurikulum ketika pekerja kurikulum membuat keputusan dan mengambil tindakan untuk menghasilkan perencanaan yang akan digunakan oleh guru dan peserta didik. Penerapan Kurikulum atau biasa disebut juga implementasi kurikulum berusaha mentransfer perencanaan kurikulum ke dalam tindakan operasional. Evaluasi kurikulum merupakan tahap akhir dari pengembangan kurikulum untuk menentukan seberapa besar hasil-hasil pembelajaran, tingkat ketercapaian program-program yang telah direncanakan, dan hasil-hasil kurikulum itu sendiri. Dalam pengembangan kurikulum, tidak hanya melibatkan orang yang terkait langsung dengan dunia pendidikan saja, namun di dalamnya melibatkan banyak orang, seperti : politikus, pengusaha, orang tua peserta didik, serta unsur – unsur masyarakat lainnya yang merasa berkepentingan dengan pendidikan.
Prinsip-prinsip yang akan digunakan dalam kegiatan pengembangan kurikulum pada dasarnya merupakan kaidah-kaidah atau hukum yang akan menjiwai suatu kurikulum. Dalam pengembangan kurikulum, dapat menggunakan prinsip-prinsip yang telah berkembang dalam kehidupan sehari-hari atau justru menciptakan sendiri prinsip-prinsip baru. Oleh karena itu, dalam implementasi kurikulum di suatu lembaga pendidikan sangat mungkin terjadi penggunaan prinsip-prinsip yang berbeda dengan kurikulum yang digunakan di lembaga pendidikan lainnya, sehingga akan ditemukan banyak sekali prinsip-prinsip yang digunakan dalam suatu pengembangan kurikulum. Dalam hal ini, Nana Syaodih Sukmadinata (1997) mengetengahkan prinsip-prinsip pengembangan kurikulum yang dibagi ke dalam dua kelompok : (1) prinsip – prinsip umum : relevansi, fleksibilitas, kontinuitas, praktis, dan efektivitas; (2) prinsip-prinsip khusus : prinsip berkenaan dengan tujuan pendidikan, prinsip berkenaan dengan pemilihan isi pendidikan, prinsip berkenaan dengan pemilihan proses belajar mengajar, prinsip berkenaan dengan pemilihan media dan alat pelajaran, dan prinsip berkenaan dengan pemilihan kegiatan penilaian. Sedangkan Asep Herry Hernawan dkk (2002) mengemukakan lima prinsip dalam pengembangan kurikulum, yaitu :
  1. Prinsip relevansi; secara internal bahwa kurikulum memiliki relevansi di antara komponen-komponen kurikulum (tujuan, bahan, strategi, organisasi dan evaluasi). Sedangkan secara eksternal bahwa komponen-komponen tersebutmemiliki relevansi dengan tuntutan ilmu pengetahuan dan teknologi (relevansi epistomologis), tuntutan dan potensi peserta didik (relevansi psikologis) serta tuntutan dan kebutuhan perkembangan masyarakat (relevansi sosilogis).
  2. Prinsip fleksibilitas; dalam pengembangan kurikulum mengusahakan agar yang dihasilkan memiliki sifat luwes, lentur dan fleksibel dalam pelaksanaannya, memungkinkan terjadinya penyesuaian-penyesuaian berdasarkan situasi dan kondisi tempat dan waktu yang selalu berkembang, serta kemampuan dan latar bekang peserta didik.
  3. Prinsip kontinuitas; yakni adanya kesinambungandalam kurikulum, baik secara vertikal, maupun secara horizontal. Pengalaman-pengalaman belajar yang disediakan kurikulum harus memperhatikan kesinambungan, baik yang di dalam tingkat kelas, antar jenjang pendidikan, maupun antara jenjang pendidikan dengan jenis pekerjaan.
  4. Prinsip efisiensi; yakni mengusahakan agar dalam pengembangan kurikulum dapat mendayagunakan waktu, biaya, dan sumber-sumber lain yang ada secara optimal, cermat dan tepat sehingga hasilnya memadai.
  5. Prinsip efektivitas; yakni mengusahakan agar kegiatan pengembangan kurikulum mencapai tujuan tanpa kegiatan yang mubazir, baik secara kualitas maupun kuantitas.
Terkait dengan pengembangan Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan, terdapat sejumlah prinsip-prinsip yang harus dipenuhi, yaitu :
  1. Berpusat pada potensi, perkembangan, kebutuhan, dan kepentingan peserta didik dan lingkungannya.
Kurikulum dikembangkan berdasarkan prinsip bahwa peserta didik memiliki posisi sentral untuk mengembangkan kompetensinya agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab. Untuk mendukung pencapaian tujuan tersebut pengembangan kompetensi peserta didik disesuaikan dengan potensi, perkembangan, kebutuhan, dan kepentingan peserta didik serta tuntutan lingkungan.
  1. Kurikulum dikembangkan dengan memperhatikan keragaman karakteristik peserta didik, kondisi daerah, dan jenjang serta jenis pendidikan, tanpa membedakan agama, suku, budaya dan adat istiadat, serta status sosial ekonomi dan gender.
Kurikulum meliputi substansi komponen muatan wajib kurikulum, muatan lokal, dan pengembangan diri secara terpadu, serta disusun dalam keterkaitan dan kesinambungan yang bermakna dan tepat antarsubstansi.
  1. Tanggap terhadap perkembangan ilmu pengetahuan, teknologi, dan seni.
Kurikulum dikembangkan atas dasar kesadaran bahwa ilmu pengetahuan, teknologi dan seni berkembang secara dinamis, dan oleh karena itu semangat dan isi kurikulum mendorong peserta didik untuk mengikuti dan memanfaatkan secara tepat perkembangan ilmu pengetahuan, teknologi, dan seni.
  1. Relevan dengan kebutuhan kehidupan.
Pengembangan kurikulum dilakukan dengan melibatkan pemangku kepentingan (stakeholders) untuk menjamin relevansi pendidikan dengan kebutuhan kehidupan, termasuk di dalamnya kehidupan kemasyarakatan, dunia usaha dan dunia kerja. Oleh karena itu, pengembangan keterampilan pribadi, keterampilan berpikir, keterampilan sosial, keterampilan akademik, dan keterampilan vokasional merupakan keniscayaan.
  1. Menyeluruh dan berkesinambungan.
Substansi kurikulum mencakup keseluruhan dimensi kompetensi, bidang kajian keilmuan dan mata pelajaran yang direncanakan dan disajikan secara berkesinambungan antarsemua jenjang pendidikan.
  1. Belajar sepanjang hayat.
Kurikulum diarahkan kepada proses pengembangan, pembudayaan dan pemberdayaan peserta didik yang berlangsung sepanjang hayat. Kurikulum mencerminkan keterkaitan antara unsur-unsur pendidikan formal, nonformal dan informal, dengan memperhatikan kondisi dan tuntutan lingkungan yang selalu berkembang serta arah pengembangan manusia seutuhnya.
  1. Seimbang antara kepentingan nasional dan kepentingan daerah.
Kurikulum dikembangkan dengan memperhatikan kepentingan nasional dan kepentingan daerah untuk membangun kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Kepentingan nasional dan kepentingan daerah harus saling mengisi dan memberdayakan sejalan dengan motto Bhineka Tunggal Ika dalam kerangka Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Pemenuhan prinsip-prinsip di atas itulah yang membedakan antara penerapan satu Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan dengan kurikulum sebelumnya, yang justru tampaknya sering kali terabaikan. Karena prinsip-prinsip itu boleh dikatakan sebagai ruh atau jiwanya kurikulum
Dalam menyikapi suatu perubahan kurikulum, banyak orang lebih terfokus hanya pada pemenuhan struktur kurikulum sebagai jasad dari kurikulum . Padahal jauh lebih penting adalah perubahan kutural (perilaku) guna memenuhi prinsip-prinsip khusus yang terkandung dalam pengembangan kurikulum.

E.   Pengertian KTSP
Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP) adalah sebuah kurikulum operasional pendidikan yang disusun dan dilaksanakan oleh masing-masing satuan pendidikan. KTSP terdiri dari tujuan pendidikan tingkat satuan ,struktur dan muatan kurikulum tingkat satuan pendidikan kalender pendidikan dan silabus. Silabus adalah rencana pembelajaran pada suatu dan/atau kelompok mata pelajaran/tema tertentu yang mencakup standar kompetensi, kompetensi dasar, materi pokok/pembelajaran, kegiatan pembelajaran, indikator, penilaian, alokasi waktu, dan sumber/bahan/alat belajar. Silabus merupakan penjabaran standar kompetensi dan kompetensi dasar ke dalam materi pokok/pembelajaran, kegiatan pembelajaran, dan indikator pencapaian kompetensi untuk penilaian.
KTSP diberlakukan di Indonesia mulai tahun ajaran 2006/2007 menggantikan kurikulum 2004 (Kurikulum Berbasis Kompetensis). Pemberlakuan KTSP di dasarkan pada peraturan menteri pendidikan nasional No.24 tahun 2006, menurut Permendiknas tersebut. KTSP adalah kurikulum yang di kembangkan dan di tetapkan tingkat sekolah [Satuan Pendidikan].baik satuan pendidikan dasar (Sekolah Dasar dan Sekolah Menengah Pertama, Sekolah Menengah atas dan Sekolah Menengah Kejuruan).
KTSP secara yuridis diamanatkan oleh Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional dan Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 19 Tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan. Penyusunan KTSP oleh sekolah dimulai tahun ajaran 2007/2008 dengan mengacu pada Standar Isi (SI) dan Standar Kompetensi Lulusan (SKL) untuk pendidikan dasar dan menengah sebagaimana yang diterbitkan melalui Peraturan Menteri Pendidikan Nasional masing-masing Nomor 22 Tahun 2006 dan Nomor 23 Tahun 2006, serta Panduan Pengembangan KTSP yang dikeluarkan oleh BSNP.
Pada prinsipnya, KTSP merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari SI, namun pengembangannya diserahkan kepada sekolah agar sesuai dengan kebutuhan sekolah itu sendiri. KTSP terdiri dari tujuan pendidikan tingkat satuan pendidikan, struktur dan muatan kurikulum tingkat satuan pendidikan, kalender pendidikan, dan silabus. Pelaksanaan KTSP mengacu pada Permendiknas Nomor 24 Tahun 2006 tentang Pelaksanaan SI dan SKL.
Standar isi adalah ruang lingkup materi dan tingkat kompetensi yang dituangkan dalam persyaratan kompetensi tamatan, kompetensi bahan kajian kompetensi mata pelajaran, dan silabus pembelajaran yang harus dipenuhi peserta didik pada jenjang dan jenis pendidikan tertentu. Standar isi merupakan pedoman untuk pengembangan kurikulum tingkat satuan pendidikan yang memuat:
·         kerangka dasar dan struktur kurikulum,
·         beban belajar,
·         kurikulum tingkat satuan pendidikan yang dikembangkan di tingkat satuan pendidikan, dan
·         kalender pendidikan.
SKL digunakan sebagai pedoman penilaian dalam penentuan kelulusan peserta didik dari satuan pendidikan. SKL meliputi kompetensi untuk seluruh mata pelajaran atau kelompok mata pelajaran. Kompetensi lulusan merupakan kualifikasi kemampuan lulusan yang mencakup sikap, pengetahuan, dan keterampilan sesuai dengan standar nasional yang telah disepakati.
Pemberlakuan KTSP, sebagaimana yang ditetapkan dalam peraturan Menteri Pendidikan Nasional No. 24 Tahun 2006 tentang Pelaksanaan SI dan SKL, ditetapkan oleh kepala sekolah setelah memperhatikan pertimbangan dari komite sekolah. Dengan kata lain, pemberlakuan KTSP sepenuhnya diserahkan kepada sekolah, dalam arti tidak ada intervensi dari Dinas Pendidikan atau Departemen Pendidikan Nasional. Penyusunan KTSP selain melibatkan guru dan karyawan juga melibatkan komite sekolah serta bila perlu para ahli dari perguruan tinggi setempat. Dengan keterlibatan komite sekolah dalam penyusunan KTSP maka KTSP yang disusun akan sesuai dengan aspirasi masyarakat, situasi dan kondisi lingkungan dan kebutuhan masyarakat.
KTSP adalah kurikulum operasional yang di susun di kembangkan dan di laksanakan oleh setiap satuan pendidikan yang sudah siap dan mampu mengembangkannya dengan memperhatikan Undang-undang No.20 tahun 2003 Tentang sistem pendidikan Nasional Pasal 36:
·          Pengembangan kurikulum di lakukan dengan mengacu pada standar nasional pendidikan untuk mewujudkan tujuan pendidikan nasional.
·          Kurikulum pada semua jenjang dan jenis pendidikan di kembangkan dengan perinsip diservikasi sesuai dengan satuan pendidikan,potensi daerah dan peserta didik.
·          Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan dasar dan menengahdi kembangkan oleh sekolah dan komite sekolah berpedoman pada standar kompetensi lulusan dan standar isi serta panduan peyunsunan kurikulum yang di buat oleh BSNP.

Tujuan Pendidikan Tingkat Satuan Pendidikan Mengacu pada Tujuan Umum Pendidikan:
1.      Tujuan pendidikan dasar, adalah meletakkan dasar kecerdasan, Pengetahuan, Kepribadian, Akhlak Mulia, serta Keterampilan untuk hidup mandiri dan mengikuti pendidikan lebih lanjut.
2.      Tujuan pendidikan menengah, adalah meningkatkan, kecerdasan, pengetahuan, kepribadian, akhlak mulia serta keterampilan untuk hidup mandiri dan mengikuti pendidikan lebih lanjut.
3.      Tujuan pendidikan menegah kejuruan, adalah kecerdasan, pengetahuan, kepribadian, akhlak mulia, serta ketrampilan untuk hidup mandiri dan mengikuti pendidikan lebih lanjut sesuai dengan kejuruannya.

Struktur KTSP pada jenjang pendidikan dasar dan menengah tertentu dalam standar isi,yang di kembangkan dari kelompok mata pelajaran agama dan akhlak mulia kewarganegaraan dan kepribadian,ilmu pengetahuan dan teknologi, estektika, jasmani, olaraga dan kesehatan. Adapun muatan KTSP meliputi sejumlah mata pelajaran yang cakupan dan kedalamnya merupakan beban belajar bagi peserta didik pada satuan pendidikan.

F.    Landasan Pengembangan KTSP

Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan di landasi oleh undang-undang dan penerapan peraturan pemerintah sebagai berikut:
-          Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional Pasal 36 sampai dengan Pasal 38;
Dalam Undang-Undang Sisdiknas dikemukakan bahwa Standar Nasional Pe. ndidikan (SNP) terdiri atas standar isi, proses, kompetensi, lulusan, tenaga pendidikan, sarana dan prasarana, pengelolaan, pembiayaan dan penilaian pendidikan yang harus ditingkatkan secara berencana dan berkala.

-          Peraturan Pemerintah Nomor 19 Tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan Pasal 5 sampai dengan Pasal 18, dan Pasal 25 sampai dengan Pasal 27;
Peraturan Pemerintah No.19 Tahun 2005 adalah peraturan tentang Standar Nasional Pendidikan (SNP). SNP merupakan kriteria minimal tentang sistem pendidikan diseluruh wilayah hukum Negara kesatuan Republik Indonesia (NKRI).
-          Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Nomor 22 Tahun 2006 tentang Standar Isi untuk Satuan Pendidikan Dasar dan Menengah;
Peraturan Menteri Pendidikan Nasional No.22 Tahun 2006 mengatur tentang Standart Isi satuan pendidikan dasar dalam menengah selanjutnya disebut Standar Isi, mencangkup lingkup materi minimal dan tingkat kompetensi minimal untuk mencapai kompetensi lulusan minimal pada jenjang dan jenis pendidikan tertentu.
-          Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Nomor 23 Tahun 2006 tentang Standar Kompetensi Lulusan untuk Satuan Pendidikan Dasar dan Menengah.
Peraturan Menteri Pendidikan Nasional No.23 Tahun 2006 adalah mengatur standart kompetensi lulusan untuk satuan pendidikan dasar dan menengah digunakan sebagai pedoman penilaian dalam membentuk kelulusan peserta didik.
-          Peraturan Menteri Pendidikan Nasional No. 24 tahun 2006
Peraturan Menteri Pendidikan Nasional No. 24 Tahun 2006 adalah mengatur tentang pelaksanaan SKL dan standar isi.

G.    Tujuan KTSP
Tujuan KTSP dibagi menjadi dua, umum dan khusus.
Secara umum tujuan diterapkannya KTSP adalah untuk memandirikan dan memberdayakan satuan pendidikan melalui pemberian kewenangan (otonomi) kepada lembaga pendidikan dan mendorong sekolah untuk melakukan pengambilan keputusan secara patisipatif dalam pengembangan kurikulum.
Secara khusus tujuan diterapkannya KTSP adalah untuk:
1.      Meningkatkan mutu pendidikan melalui kemandirian dan inisiatif sekolah dalam mengembangkan kurikulum, mengelola dan memberdayakan suberdaya yang tersedia.
2.      Meningkatkan kepedulian warga sekolah dan masyarakat dalam pengembangan kurikulum melalui pengambilan keputusan bersama.
3.      Meningkatkan kompterisi yang sehat antar satuan pendidikan tentang kualitas pendidikan yang akan dicapai.

Memahami tujuan diatas, KTSP dipandang sebagai suatu pola pendikatan baru dalam pengebangan kurikulum dalam konteks otonomi daerah yang sedang digulirkan dewasa ini. Oleh karena itu, KTSP perlu diterapkan dengan tujuh hal sebagai berikut:
a.       Sekolah lebih mengetahui kekuatan, kelemhan, peluang, dan ancaman bagai dirinya sehingga dia dapat mengoptimalkan pemanfaatan suberdaya yang tersedia untuk memajukan lebaganya.
b.      Sekolah lebih mengetahui kebutuhan lembaganya, khususnya input pendidikan yang akan dikembangkan dan didayagunakan dalam proses pendidikan sesuai dengan tungkat perkembangan dan kebutuhan peserta didik.
c.       Pengambilan keputusan yang dilakukan oleh sekolah lebih cocok untuk memenuhi kebutuhan sekolah karena pihak sekolahlah yang peling tahu apa yang terbaik bagai sekolahnya.
d.      Keterlibatan semua warga sekolah dan masyarakat dalam pengembangan kurikulum menciptakan transparansi dan demokrasi yang sehat, serta lebih efisien dan efektif bilamana dikontrol oleh masyarakat setempat.
e.       Sekolah dapat bertanggung jawab tentang mutu pendidikan masing-masing kepada pemrintah, orang tua peserta didik, dan masyarakat pada umunya, sehingga dia akan berupaya semaksimal mungkin untuk melaksanakan dan mencapai sasaran KTSP.
f.       Sekolah dapat melakukan persaingan yang sehat dengan sekolah-sekolah lain untuk meningkatkan mutu pendidikan melalui upaya-upaya inovatif dengan dukungan orangtua peserta didik, masyarakat, dan pemerintah daerah setempat.
g.      Sekolah dapat secara cepat merespon aspirasi masyarakat dan lingkungan yang berubah dengan cepat, serta mengakomodasinya dalam KTSP.




H.    Karakteristik KTSP

1.       Pemberian otonomi luas kepada sekolah dan satuan pendidikan.
KTSP merupakan otonomi luas kepada sekolah dan satuan pendidikan, disertai seperangkat tanggung jawab untuk mengembangkan kurikulum sesuai dengan kondisi setempat.
2.       Partisipasi Masyarakat dan Orang tua yang Tinggi.
Dalam KTSP pelaksanaan kurikulum didukung oleh partisipasi masyarakat, orang tua, peserta didik yang tinggi dan masyarakat tidak hanya mendukung sekolah melalui bantuan keuangan, tetapi  melalui komite sekolah dan dewan pendidikan merumuskan serta mengembangkan program-program yang dapat meningkatkan kualitas pembelajaran.
3.       Kepemimpinan yang Demokratis dan Profesional.
Dalam KTSP pengembangan dan pelaksanaan kurikulum didukung oleh adanya kepemimpinan sekolah yang demokratis dan professional. Kepala sekolah dan guru-guru sebagai tenaga pelaksanaan kurikulum merupakan orang yang memiliki kemampuan dan integritas professional.
4.       Tim Kerja yang Kompak dan Transparan.
Dalam KTSP, keberhasilan pengembangan kurikulum dan pembelajaran didukung oleh kinerja tim yang kompak dan transparan dari berbagai pihak yang terlibat dalam pendidikan, dalam dewan pendidikan dan komite sekolah,misalnya pihak-pihak yang terlibat bekerjasama secara harmonis sesuai dengan posisinya masing-masing untuk mewujudkan suatu “sekolah yang dapat dibanggakan” oleh semua pihak.

Disamping beberapa karakteristik diatas terdapat beberapa faktor penting yang perlu diperhatikan dalam pengembangan KTSP, antara lain:
1.       Sistem informasi yang jelas dan transparan
Sekolah dan satuan pendidikan yang mengembangkan dan melaksanakan KTSP perlu dimiliki informasi yang jelas tentang program yang netral dan transparan, karena informasi tersebut seseorang akan mengetahui kondisi dan posisi sekolah.
2.       System Penghargaan dan Hukum.
Sekolah dan satuan pendidikan yang mengembangkan dan melaksanakan KTSP perlu menyusun system penghargaan (reward) dan hukuman (punishment) bagi warganya untuk mendorong kinerjanya.

I.      Pengembangan KTSP

Pengembangan KTSP yang beragam mengacu pada standar nasional pendidikan untuk menjamin pencapaian tujuan pendidikan nasional. Standar nasional pendidikan terdiri atas standar isi, proses, kompetensi lulusan, tenaga kependidikan, sarana dan prasarana, pengelolaan, pembiayaan, dan penilaian pendidikan. Dua dari kedelapan standar nasional pendidikan tersebut yang antara lain Standar Isi dan Standar Kompetensi Lulusan merupakan acuan utama bagi satuan pendidikan dalam mengembangkan kurikulum.
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional dan Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 19 Tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan mengamanatkan kurikulum pada KTSP jenjang pendidikan dasar dan menengah disusun oleh satuan pendidikan dengan mengacu pada Standar Isi dan Standar Kompetensi Lulusan serta berpedoman pada panduan yang disusun oleh Badan Standar Nasional Pendidikan (BSNP).
Selain itu, penyusunan KTSP juga harus mengikuti ketentuan lain yang menyangkut kurikulum dalam Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 dan Peraturan Pemerintah Nomor 19 Tahun 2005 antara lain:
1.      Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional. Ketentuan dalam Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 yang mengatur KTSP, adalah Pasal 1 ayat (19); Pasal 18 ayat (1),(2),(3),(4); Pasal 32 ayat (1),(2),(3); Pasal 35 ayat (2); Pasal 36 ayat (1),(2),(3),(4); Pasal 37 ayat (1),(2),(3); Pasal 38 ayat (1),(2).
2.      Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 19 Tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan. Ketentuan dalam Peraturan Pemerintah Nomor 19 Tahun 2005 yang mengatur KTSP, adalah Pasal 1 ayat (5),(13),(14),(15); Pasal 5 ayat (1),(2); Pasal 6 ayat (6); Pasal 7 ayat (1),(2),(3),(4),(5),(6),(7),(8); Pasal 8 ayat (1),(2),(3); Pasal 10 ayat (1),(2),(3); Pasal 11 ayat (1),(2),(3),(4); Pasal 13 ayat (1),(2),(3),(4); Pasal 14 ayat (1),(2),(3); Pasal 17 ayat (1),(2); Pasal 18 ayat (1),(2),(3); Pasal 20.
3.      Standar Isi, yang mencakup lingkup materi dan tingkat kompetensi untuk mencapai kompetensi lulusan pada jenjang dan jenis pendidikan tertentu. Termasuk dalam Standar Isi adalah kerangka dasar dan struktur kurikulum, Standar Kompetensi dan Kompetensi dasar setiap mata pelajaran pada tiap semester dari setiap jenis dan jenjang pendidikan dasar dan menengah. Standar Isi ditetapkan dengan Keputusan Menteri Pendidikan Nasional Republik Indonesia Nomor 22 Tahun 2006.
4.      Standar Kompetensi Lulusan, merupakan kualifikasi kemampuan lulusan yang mencakup sikap, pengetahuan, dan keterampilan sebagaimana yang ditetapkan dengan Keputusan Menteri Pendidikan Nasional Republik Indonesia Nomor 23 Tahun 2006.

KTSP dikembangkan sesuai dengan relevansinya oleh setiap kelompok atau satuan pendidikan di bawah koordinasi dan supervisi Dinas Pendidikan atau kantor Departemen Agama Kabupaten/Kota untuk pendidikan dasar dan Provinsi untuk pendidikan menengah. Pengembangan KTSP mengacu pada Standar Isi dan Standar Kompetensi Lulusan dan berpedoman pada panduan penyusunan kurikulum yang disusun oleh Badan Standar Nasional Pendidikan, serta memperhatikan pertimbangan komite sekolah/madrasah. Penyusunan KTSP untuk pendidikan khusus dikoordinasi dan disupervisi oleh Dinas Pendidikan Provinsi, dan berpedoman pada Standar Isi dan Standar Kompetensi Lulusan serta panduan penyusunan kurikulum yang disusun oleh Badan Standar Nasional Pendidikan.

J.     Keunggulan KTSP

KTSP yang juga merupakan Kurikulum Berbasis Kompetensi (KBK) memiliki berbagai keunggulan. Keunggulan konsep ini, meski bukan format satu-satunya untuk mengantisipasi permasalahan pendidikan, namun secara umum KTSP bisa diandalkan menjadi patokan menghadapi tantangan masa depan dengan pembekalan keterampilan pada peserta didik.
Keunggulan lain, KTSP memiliki kemampuan beradaptasi dengan daerah, setempat, karena keterampilan yang diajarkan berdasarkan pada lingkungan dan kemampuan peserta didik. Disamping itu juga adanya penghargaan bagi pribadi peserta didik.

Peserta didik yang mampu menyerap materi dengan cepat akan diberi tambahan materi sebagai pengayaan, dan peserta didik yang kurang akan ditangani oleh guru dengan penuh kesabaran dengan mengulang materinya atau member remedial.

Peserta didik juga diajak bicara, diskusi, wawancara dan membahas masalah-masalah yang kontekstual, yang dalam kenyataanya memang diperlukan sehingga peserta didik menjadi lebih mengerti dan menjiwai permasalahannya karena sesuai dengan keadaan peserta didik dalam kehidupan sehari-hari.

Peserta didik tidak hanya dituntut untuk menghafal namun yang lebih penting adalah belajar proses sehingga mendorong peserta didik untuk meneliti dan mengaplikasikannya dalam kehidupan sehari-hari.

K.  Kelemahan KTSP

Adapun kelemahan dari KTSP ini. Kesulitan yang mungkin saja timbul dari pelaksanaan KTSP ini adalah diperlukannya waktu yang cukup oleh pendidik dalam membina perkembangan peserta didiknya, terutama peserta didik yang berkemampuan dibawah rata-rata. Kenyataan membuktikan kondisi sosial dan ekonomi yang menghimpit kesejahteraan hidup para guru, menyebabkan mereka kurang berkonsentrasi dalam proses pembelajaran.

Belum lagi mengingat kualitas guru yang kurang merata di setiap daerah. Ini artinya, KTSP menghadapi kendala daya kreativitas dan beragamnya kapasitas guru untuk membuat kurikulum sendiri.

Kendala lain, KTSP menuntut kemampuan guru dalam menjalankan pembelajaran berbasis kompetensi dengan merencanakan sendiri bagaimana strategi yang tepat diterapkan sesuai dengan kondisi dan kemampuan daerah setempat.

Disamping itu, masalah fasilitas pendidikan di sekolah yang masih sangat minim. Padahal konsep ini lebih menitikberatkan pada praktek di lapangan sesuai dengan kompetensi yang dimiliki dibanding teori semata.

Kendala lain yang dialami guru adalah ketidakpahaman mengenai apa dan bagaimana melakukan evaluasi dengan portofolio. Karena ketidakpahaman ini mereka kembali pada pola assessment lama dengan test-test dan ulangan-ulangan yang cognitive-based semata.

Tidak adanya model sekolah yang bisa dijadikan sebagai rujukan membuat para guru tidak mampu melakukan perubahan, apalagi lompatan dalam proses peningkatan kegiatan belajar mengajarnya.

Berkenaan dengan tidak adanya target materi dalam KTSP, di satu pihak KTSP menekankan kompetensi peserta didik yang berarti proses belajar harus diperhatikan oleh guru, di pihak lain materi meskipun tidak diprioritaskan tetapi akhirnya harus diselesaikan juga. Dengan demikian guru harus berpacu dengan waktu, sementara proses belajar tidak dapat dipastikan keberhasilannya. Hal ini berdampak rendahnya hasil belajar peserta didik yang dibinanya. Yang berujung pada penolakan kebijakan pemerintah tentang Ujian Nasional sebagai dasar penentuan kelulusan peserta didiknya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar