Assalamualaikum Wr.wb to all ^^,

welcomee guys ^^,
selamat datang at my blog Pinnapinno Warawiri
semoga bermanfaat :)

Kamis, Juni 02, 2011

Cara Belajar Siswa Aktif (CBSA)



 
A.   Pengertian CBSA
Pada umumnya metode lebih cenderung disebut sebuah pendekatan. Dalam bahasa Inggris dikenal dengan kata “approach” yang dimaksudnya juga “pendekatan”. Di dalam kata pendekatan ada unsur psikhis seperti halnya yang ada pada proses belajar mengajar. Semua guru profesional dituntut terampil mengajar tidak semata-mata hanya menyajikan materi ajar. Guru dituntut memiliki pendekatan mengajar sesuai dengan tujuan instruksional. Menguasai dan memahami materi yang akan diajarkan agar dengan cara demikian pembelajar akan benar-benar memahami apa yang akan diajarkan. Piaget dan Chomsky berbeda pendapat dalam hal hakikat manusia. Piaget memandang anak-akalnya-sebagai agen yang aktif dan konstruktif yang secara perlahan-lahan maju dalam kegiatan usaha sendiri yang terus-menerus.Pendekatan CBSA (Cara Belajar Siswa Aktif) menuntut keterlibatan mental siswa terhadap bahan yang dipelajari.
CBSA adalah pendekatan pengajaran yang memberikan kesempatan kepada siswa untuk aktif terlibat secar fisik, mental, intelektual, dan emosional dengan harapan siswa memperoleh pengalaman belajar secara maksimal, baik dalam ranah kognitif, afektif, maupun psikomotor. Pendekatan CBSA menuntut keterlibatan mental vang tinggi sehingga terjadi proses-proses mental yang berhubungan dengan aspek-aspek kognitif, afektif dan psikomolorik. Melalui proses kognitif pembelajar akan memiliki penguasaan konsep dan prinsip. Konsep CBSA yang dalam bahasa Inggris disebut Student Active Learning (SAL) dapat membantu pengajar meningkatkan daya kognitif pembelajar. Kadar aktivitas pembelajar masih rendah dan belum terpogram. Akan tetapi dengan CBSA para pembelajar dapat melatih diri menyelesaikan tugas-tugas yang diberikan kepada mereka. Tidak untuk dikerjakan di rumah tetapi dikerjakan dikelas secara bersama-sama.
Setiap proses pembelajaran pasti menampakkan keaktifan orang yang belajar atau siswa. Pernyataan ini tidak dapat kita bantah atau kita tolak kebenarannya. Adanya kenyataan ini, menyebabkan sulitnya mendefinisikan pengertian pendekatan CBSA secara tepat. Kepastian adanya keaktifan siswa dalam setiap proses pembelajaran, memberikan kepastian kepada kita bahwa pendekatan CBSA bukanlah suatu hal yang dikotomis. Hal ini berarti, setiap peristiwa pembelajaran yang diselenggarakan oleh guru dapat dipastikan adanya penerapan pendekatan CBSA dan tidak mungkin tidak terjadi penerapan pendekatan CBSA dalam peristiwa pembelajaran.
Pendekatan sistem pembelajaran dapat diartikan sebagai titik tolak atau sudut pandang kita terhadap proses pembelajaran, yang merujuk pada pandangan tentang terjadinya suatu proses yang sifatnya masih sangat dalamnya mewadahi, menginspirasi, menguatkan dan melatari metode pembelajaran dengan cakupan tertentu. Dilihat dari pendekatannya, pembelajaran terdapat dua jenis pendekatan, yaitu:
a.          Pendekatan pembelajaran yang berorientasi atau berpusat pada siswa (student centered approach).
b.         Pendekatan pembelajaran yang berorientasi atau berpusat pada guru (teacher centered approach).
Dari pendekatan pembelajaran yang telah ditetapkan selanjutnya diturunkan ke dalam strategi pembelajaran dan Logan (Abin Syamsuddin Makmun, 2003) mengemukakan empat unsur strategi dari setiap usaha, yaitu:
a.          Mengidentifikasi dan menetapkan spesifikasi dan kualifikasi hasil (out put) dan sasaran (target) yang harus mempertimbangkan aspirasi dan selera masyarakat yang memerlukannya.
b.         Mempertimbangkan dan memilih jalan pendekatan utama (basic way) yang paling efektif untuk mencapai tujuan.
c.          Mempertimbangkan dan menetapkan langkah-langkah (steps) yang akan ditempuh sejak titik awal sampai mencapai sasaran.
d.         Mempertimbangkan dan menetapkan tolok ukur (criteria) dan patokan ukuran (standard) untuk mengetahui/menilai taraf keberhasilan (achievement) usaha.
Sejak dimunculkannya pendekatan CBSA dalam lingkungan pendidikan ditanah air, konsep CBSA telah mengalami perkembangan yang cukup jauh. Pendekatan CBSA dinilai sebagai suatu sistem belajar mengajar yang menekankan keaktifan siswa secara fisik, mental, intelektual dan emosional guna memperole hasil belajar yang bempa perpaduan antara matra kognitif, afekisi. dan psikomotorik.
Dalam kerangka sistem belajar mengajar, terdapat komponen proses yakni keaktifan fisik, mental, intelektual dan emosional dan komponen produk, yakni hasil belajar berupa keterpaduan aspek-aspek kognitif, afektif, dan psikomotorik Secara lebili rinci komponen produk tersebut mencakup berbagai kemampuan: menamati, menginterprestasikan, meramalkan. mengkaji, menggeneralisasikan, menemukan, mendiskusikan, dan mengkomonikasikan hasil penemuan. Aspek-aspek kemampun tersebut dikembangkan secara terpadu melalui  sistem pembelajaran berdasarkan pendekatan CBSA.
Cara belajar siswa aktif adalah merupakan tantangan selanjutnya bagi para pendidik. Sebab ruh dari KTSP yang diberlakukan sekarang ini adalah pembelajaran aktif. Dalam pembelajaran aktif baik guru dan siswa sama-sama menjadi mengambil peran yang penting.
Guru sebagai pihak yang;
1.         Merencanakan dan mendesain tahap skenario pembelajaran yang akan dilaksanakan di dalam kelas.
2.         Membuat strategi pembelajaran apa yang ingin dipakai (strategi yang umum dipakai adalah belajar dengan bekerja sama)
3.         Membayangkan interaksi apa yang mungkin akan terjadi antara guru dan siswa selama pembelajaran berlangsung.
4.         Mencari keunikan siswa, dalam hal ini berusaha mencari sisi cerdas dan modalitas belajar siswa dengan demikian sisi kuat dan sisi lemah siswa menjadi perhatian yang setara dan seimbang
5.         Menilai siswa dengan cara yang tranparan dan adil dan harus merupakan penilaian kinerja serta proses dalam bentuk kognitif, afektif, dan skill (biasa disebut psikomotorik)
6.         Melakukan macam-macam penilaian misalnya tes tertulis, performa (penampilan saat presentasi, debat dll) dan penugasan atau proyek
7.         Membuat portfolio pekerjaan siswa.

Siswa menjadi pihak yang;
1.         Menggunakan kemampuan bertanya dan berpikir
2.         Melakukan riset sederhana
3.         Mempelajari ide-ide serta konsep-konsep baru dan menantang.
4.         Memecahkan masalah (problem solving),
5.         Belajar mengatur waktu dengan baik,
6.         Melakukan kegiatan pembelajaran secara sendiri atau berkelompok (belajar menerima pendapat orang lain, siswa belajar menjadi team player)
7.         Mengaplikasikan hasil pembelajaran lewat tindakan atau action.
8.         Melakukan interaksi sosial (melakukan wawancara, survey, terjun ke lapangan, mendengarkan guest speaker)
9.         Banyak kegiatan yang dilakukan dengan berkelompok.
Dalam dunia pendidikan dan pengajaran CBSA bukanlah hal yang baru. Bahkan dalam teori pengajaran, CBSA merupakan konsekuensi yang logis dari pengajaran yang seharusnya. Artinya merupakan tuntutan logis dari hakikat belajar dan hakikat mengajar. Hampir tidak pernah terjadi proses belajar tanpa adanya keaktifan individu atau siswa yang belajar. Permasalahannya hanya terletak dalam kadar atau bobot keaktifan siswa. Ada keaktifan belajar kategori rendah, sedang, dan adapula keaktifan belajar kategori tinggi. Seandainya dibuat rentangan skala keaktifan dari 0-10, maka keaktifan belajar ada dalam skala 1-10, tidak ada skala nol, betapapun kecilnya keaktifan tersebut. Dengan demikian hakikat CBSA pada dasarnya adalah cara atau usaha mempertinggi atau mengoptimalkan kegiatan belajar siswa dalam proses pengajaran.
Sebagai konsep CBSA adalah suatu proses kegiatan belajar mengajar yang subjek didiknya terlibat secara intelektual dan emosional. Sehingga subjek didik betul-betul berperan dan berpartisipasi aktif dalam melakukan kegiatan belajar. Pengertian tersebut menunjukkan bahwa CBSA menempatkan siswa sebagai inti dalam kegiatan belajar mengajar siswa dipandang sebagai objek dan subjek.
Keaktifan siswa dalam peristiwa pembelajaran mengambil beraneka bentuk kegiatan dari kegiatan fisik yang mudah diamati sampai kegiatan psikis yang sulit diamati. Kegiatan fisik yang dapat diamati diantaranya dalam bentuk kegiatan membaca, mendengarkan, menulis, meragakan dan mengukur. Sedangkan contoh-contoh kegiatan psikis seperti mengingat kembali isi pelajaran pertemuan sebelumnya, menggunakan khasanah pengetahuan yang dimiliki dalam memecahkan masalah yang dihadapi, menyimpulkan hasil eksperimen, membandingkan satu konsep dengan konsep yang lain dan kegiatan psikis lainnya. Namun demikian, semua kegiatan tersebut harus dapat dipulangkan kepada suatu karakteristik, yaitu keterlibatan intelektual-emosional siswa dalam kegiatan pembelajaran. Keterlibatan tersebut terjadi pada waktu kegiatan kognitif dalam pencapaian atau perolehan pengetahuan, pada saat siswa mengadakan latihan-latihan dalam pembentukan keterampilan dan sewaktu siswa menghayati dan menginternalisasi nilai-nilai dalam pembentukan sikap dan nilai. Dengan kata lain, keaktifan dalam pendekatan CBSA menunjuk kepada keaktifan mental, baik intelektual maupun emosional, meskipun untuk merealisasikan dalam banyak hal dipersyaratkan atau dibutuhkan keterlibatan langsung dalam berbagai bentuk keaktifan fisik.
Berdasarkan uraian dalam sebelumnya, dapatlah kiranya kita mengambil kesimpulan mengenai pengertian pendekatan CBSA. Di mana pendekatan CBSA dapat diartikan sebagai panutan pembelajaran yang mengarah kepada mengoptimalisasian pelibatan intelektul-emosional siswa dalam proses pembelajaran dengan pelibatan fisik siswa apabila diperlukan. Pelibatan intelektual-emosional / fisik siswa serta optimalisasi dalam pembelajaran, diarahkan untuk membelajarkan siswa bagaimana belajar memperoleh dan memproses perolehan belajarnya tentang pengetahuan, keterampilan, sikap dan nilai. (Dimyati & Mudjiono, 1999, h. 115).

B.   Dasar-Dasar Pemikiran Pendekatan CBSA
Usaha penerapan dan peningkatan CBSA dalam Kegiatan Belajar Mengajar (KBM) merupakan usaha “proses pembangkitan kembali” atau proses pemantapan konsep CBSA yang telah ada. Untuk itu perlu dikaji alasan-alasan kebangkitan kembali dan usaha peningkatan CBSA dasar dan alasan usaha peningkatan CBSA secara rasional adalah sebagai berikut:
a.       Rasional atau dasar pemikiran dan alasan usaha peningkatan CBSA dapat ditinjau kembali pada hakikat CBSA dan tujuan pendekatan itu sendiri.
Dengan cara demikian pembelajar dapat diketahui potensi, tendensi dan terbentuknya pengetahuan, keterampilan dan sikap yang dimilikinya. Pada dasarnya dapat diketahui bahwa baik pembelajar. materi pelajaran, cara penyajian atau disebut juga pendekatan-pendekatan berkembang. Jadi hampir semua komponen proses belajar mengajar mengalami perubahan.
Perubahan ini mengarah ke segi-segi positif yang harus didukung oleh tindakan secara intelektual, oleh kemauan, kebiasaan belajar yang teratur, mempersenang diri pada waktu belajar hendaknya tercipta baik di sekolah maupun di rumah. Bukankah materi pelajaran itu banyak, bervariasi dan ini akan memotivasi pembelajar memiliki kebiasaan belalar. Dalam hubungannya dengan CBSA salah satu kompetensi yang dituntut ialah memiliki kemampuan profesional, mampu memiliki strategi dengan pendekatan yang tepat.

b.      Implikasi mental-intelektual-emosional yang semaksimal mungkin dalam kegiatan belajar mengajar akan mampu menimbulkan nilai yang berharga dan gairah belajar menjadi makin meningkat.
Komunikasi dua arah (seperti halnya pada teori pusaran atau kumparan elektronik) menantang pembelajar berkomunikasi searah yang kurang bisa membantu meningkatkan konsentrasi. Sifat melit yang disebut juga ingin tahu (curionsity) pembelajar dimotivasi oleh aktivitas yang telah dilakukan. Pengalaman belajar akan memberi kesempatan untuk rnelakukan proses belajar berikutnya dan akan menimbulkan kreativitas sesuai dengan isi materi pelajaran.

c.       Upaya memperbanyak arah komunikasi dan menerapkan banyak metode, media secara bervariasi dapat berdampak positif.
Cara seperti itu juga akan memberi peluang memperoleh balikan untuk menilai efektivitas pembelajar itu. Ini dimaksud balikan tidak ditunggu sampai ujian akhir tetapi dapat diperoleh pembelajar dengan segera. Dengan demikian kesalahan-kesalahan dan kekeliruan dapat segera diperbaiki. Jadi, CBSA memberi alasan untuk dilaksanakan penilaian secara efektif, secara terus-menerus melalui tes akhir tatap muka, tes formatif dan tes sumatif.

d.      Dilihat dari segi pemenuhan meningkatkan mutu pendidikan di LPTK (Lembaga Pendidikan Tenaga Pendidik) maka strategi dengan pendekatan CBSA layak mendapat prioritas utama.
Dengan wawasan pendidikan sebagai proses belajar mengajar menggarisbawahi betapa pentingnya proses belajar mengajar yang tanggung jawabnya diserahkan sepenuhnya kepada pembelajar. Dalam hal ini materi pembelajar harus benar-benar dibuat sesuai dengan kemampuan berpikir mandiri, pembentukan kemauan si pembelajar. Situasi pembelajar mampu menumbuhkan kemampuan dalam memecahkan masalah secara abstrak, dan juga mencari pemecahan secara praktik.

C.    Perlunya CBSA dalam Pengajaran
-      Asumsi pendidikan
Pendidikan adalah usaha sadar memanusiakan manusia, atau emmbudayakan manusia. Pendidikan adalah proses sosialisasi menuju kedewasaan intelektual, sosial, moral, sesuai dengan kemampuan dan martabatnya sebagai manusia.
Atas dasar itu maka hakikat pendidikan adalah:
a.       Interaksi manusiawi
b.      Membina dan mengembangkan potensi manusia
c.       Berlangsung sepanjang hayat
d.      Sesuai dengan tingkat perkembangan dan kemampuan individu
e.       Keseimbangan anatara kebebasan serta kewibawaan guru dengan murid
f.       Meningkatkan kualitas hidup manusia

-             Asumsi anak didik
Asumsi anak didik didasarkan pada:
a.       Anak bukan manusia kecil, tetapi manusia seutuhnya yang mempunyai potensi untuk berkembang.
b.      Setiap individu/anak didik berbeda kemampuannya
c.       Anak didik pada dasarnya insan yang aktif kreatif dan dinamis dalam menghadapi lingkungannya.

-             Asumsi Guru
Asumsi guru bertolak dari:
a.       Bertanggung jawab atas tercapainya hasil belajar siswa
b.      Memiliki kemampuan profesional sebagai pengajar
c.       Berperan sebagai sumber belajar, pemimpin belajar dan fasilitator belajar sehingga terciptanya kondisi yang baik bagi siswa untuk belajar.

-             Asumsi Proses Pengajaran
a.       proses pengajaran direncanakan dan dilaksanakan sebagai suatu sistem
b.      siswa berinteraksi dengan lingkungan belajar yang diatur oleh guru
c.       inti dari proses pengajaran adalah adanya kegiatan belajar siswa secara optimal.
Penerapan dan pendayagunaan konsep CBSA dalam pembelajaran merupakan kebutuhan dan sekaligus sebaga. keharusan dalam kaitannya dengan upaya merealisasikan Sistem Pendidikan Nasional untuk mencapai tujuan pendidikan nasional yang pada gilirannya berimplikasi terhadap sistem pembelajaran yang efektif.
Siswa peserta didik dipandang dari dua sisi yang berkaitan, yakni sebagai objek pembelajaran dan sebagai subjek yang belajar. Siswa sebagai subjek dipandang sebagai manusia yang potensial sedang berkembang, memiliki keinginan-keinginan-harapan dan tujuan hidup, aspirasi dan motivasi dan berbagai kemungkinan potensi lainnya. Siswa sebagai objek dipandan: sebagai yang memiliki potensi yang perlu dibina, diarahkan dan dikembangkan melalui proses pembelajaran. Karena itu proses pembelajaran harus dilaksanakan berdasarkan prinsip-prinsip manusiawi (humanistik), misainya melalm suasana kekeluargaan terbuka dan bergairah serta berpariasi sesuai dengan keadaan perkembangan siswa bersangkutan.
Pelaksanaan proses pembelajaran dititik beratkan pada keaktifan siswa belajar dan keaktifan guru menciptakan lingkungan belajar yang serasi dan menantang. Penerapan CBSA dilakukan dengan cara mengfungsionalisasikan seluruh potensi manusiawi siswa melalui penyediaan lingkungan belajar yang meliputi aspek-aspek bahan pelajaran, guru, media pembelajaran, suasana kelas dan sebagainya. Cara belajar di sesuaikan dengan minat dim pemberian kemudahan kepada siswa untuk memperoleh pemahaman, pendalaman, dan pengendapan sehingga hasil belajar berintemalisasi dengan pribadi siswa. Dalam kondisi ini semua unsur pribadi siswa aktif seperti emosi, perasaan, intelektual, pengindran, fisik dan sebagainya.
CBSA dapat berlangsung dengan efektif, bila guru melaksanakan peran dan fungsinya secara aktif dan kreatif, mendorong dan membantu serta berupaya mempenguruhi siswa untuk mencapai tujuan pembelajaran dan belajar yang telah ditentukan. Keaktifan guru dilakukan pada tahap-tahap kegiatan perencanaan, pelaksanaan, pellilaian dan tindak lanjut pembelajaran.Peranan guru bukan sebagai orang yang menuangkan materi pelajaran kepada siswa, melainkan bertindak sebagai pembantu dan pelayanan bagi siswanya. Siswa aktif belajar, sedangkan guru memberikan fasilitas belajar, bantuan dan pelayanan. Beberapa kegiatan yang dapat dilakukan oleh guru, ialah:
a.          Menyiapkan lembaran kerja;
b.         Menyusun tugas bersama siswa;
c.          Memberikan informasi tentang kegiatan yang akan dilakukan;
d.         Memberikan bantuan dan pelayanan kepada siswa apabila siswa mendapat kesulitan;
e.          Menyampaikan pertanyaan yang bersifat asuhan;
f.          Membantu mengarahkan rumusan kesimpulan umum;
g.         Memberikan bantuan dan pelayanan khusus kepada siswa yang lambat;
h.         Menyalurkan bakat dan minat siswa;
i.           Mengamati setiap aktivitas siswa.
Kegiatan-kegiatan tersebut menunjukkan, bahwa pembelajaran berdasarkan pendekatan CBSA tidak diartikan guru menjadi fasif, melainkan tetap harus aktif namun tidak bersikap mendominasi siswa dan menghambat perkembangan potensinya Guru bertindak sebagai guru inquiry, dan fasilitator.

D.      Indikator-indikator CBSA
Hakekat CBSA adalah keterlibatan intelektual, emosional dan dan fisik si belajar dalam proses pembelajaran; dan setiap proses pembelajaran memiliki kadar CBSA yang berbeda- beda. Agar kita dapat menentukan kadar CBSA dari suatu proses pembelajaran, maka perlu mengenal terlebih dahulu indikator-indikator CBSA. Yang dimaksud dengan indikator CBSA adalah gejala-gejala yang nampak pada perilaku siswa dan guru mampu didalam pembelajaran dan proses pembelajaran. Indikator indikator CBSA yang dimaksud adalah berikut.
1.    Prakarsa/keberanian siswa dalam mewujudkan minat, dan dorongan/motif yang ada pada dirinya, meliputi:
a.  Kuantitas dan kualitas usul dari siswa terhadap bentuk kegiatan belajar yang diminati.
b.  Kuantitas dan kualitas usul dan saran dari siswa terhadap prosedur kegiatan belajar,
c.  Kuantitas dan kualitas usul dan saran siswa terhadap topik-topik pembahasan,
d.  Prakarsa siswa dalam menentukan kelompok kerja, dan
e.  Prakarsa siswa dalam mengusulkan sumber-sumber belajar yang akan dimanfaatkan dalam proses pembelajaran.
2.    Keberanian dan keinginan siswa untuk ikut serta dalam proses pembelajaran, meliputi:
a. Kesediaan siswa dalam mencari dan menyediakan sumber belajar yang dibutuhkan dalam proses pembelajaran,
b.  Kesediaan siswa untuk mengerjakan tugas-tugas belajar yang ada dalam proses pembelajaran,
c.  Kuantitas dan kualitas untuk berbuat dan menghasilkan lebih dari pada yang diharapkan
3.    Usaha dan kreativitas siswa dalam proses pembelajaran,meliputi.
a.  Kuantitas dan kualitas usaha yang dilakukan siswa dalam mencari dan menentukan sumber-sumber belajar yang ditentukan,
b.  Kuantitas dan kualitas alternatif yang diajukan siswa dalam memecahkan permasalahan yang ada dalam proses pembelajaran,
c.  Keberanian siswa untuk memilih cara kerja yang berbeda dari delapan cara kerja yang telah ditentukan guru,

4.    Keinginantahuan yang ada pada diri siswa meliputi:
a.  Kuantitas dan kualitas pertanyaan yang diajukan kepada guru,
b.  Kuantitas dan kualitas pertanyaan yang menyimpang dari topik pembahasan,
5.    Rasa lapang dan bebas yang ada pada diri siswa, meliputi :
a. Sebaran siswa yang mengemukakan usul dan saran
b. Kuantitas dan kualitas respon guru terhadap usul dan saran siswa,
6.    Kuantitas dan kualitas usaha yang dilakukan guru dalam membina dan mendorong keaktifan siswa, meliputi:
a.  Kuantitas dan kualitas balikan yang diberikan oleh guru atas pertanyaan siswa,
b.  Kuantitas kesempatan yang diberikan kepada siswa untuk menyelesaikan secara tuntas yang diberikan,
7.    Kualitas guru sebagai inovator dan fasilitator, meliputi :
a.  Kuantitas sumber-sumber belajar baru yang disediakan oleh guru,
b. Kemampuan guru menyediakan sumber-sumber belajar yang dibutuhkan siswa dalam proses pembelajaran,
c. kecepatan memilih sumber belajar,
8.    Tidak adanya dominasi guru dalam proses pembelajaran,meliputi:
a. Kuantitas guru dalam menentukan bentuk dan jenis kegiatan belajar,
b. Kuantitas guru dalam menjawab pertanyaan yang diajukan oleh para siswa,
9.    Kuantitas dan kualitas strategi belajar mengajar dan media yang diterapkan dalam proses pembelajaran, meliputi:
a. Fleksibilitas penerapan strategi pembelajaran,
b. Kuantitas jenis media yang digunakan,
c. Jenis-jenis kegiatan/ketrampilan yang dilibatkan dalam penggunaan media,
10.  Keterikatan guru terhadap program pembelajaran, meliputi:
a.  Keterikatan guru terhadap tujuan yang dirumuskan dalam program pembelajaran,
b.  Keterikatan guru tehadap prosedur pembelajaran yang ditetapkan dalam program pembelajaran,
c.  Keterikatan guru terhadap sumber belajar yang telah ditetapkan dalam program pembelajaran,
11. Variasi interaksi guru-siswa dalam proses pembelajaran meliputi:
a.  Kuantitas interaksi searah guru-siswa,
b.  Kuantitas interaksi dua arah guru-siswa,
c.  Kuantitas interaksi dua arah guru-siswa dan siswa-siswa,
d. Kuantitas interaksi multi arah guru-siswa.
12. Kegairahan dan kegembiraan siswa dalam belajar, meliputi:
a. Kuantitas siswa yang mencatat informasi/pesan yang disajikan guru,
b. Kuantitas siswa yang menggangu siswa lain, dan yang lain.
Kita dapat melihat bahwa indikator-indikator tersebut berada dalam suatu rentangan. Indikator-indikator CBSA tersebut, akan dapat digunakan mengetahui kadar ke-CBSA-an suatu proses pembelajaran apabila dirumuskan kembali ke dalam bentuk paduan observasi atau instrumen yang lain.
Pembelajaran berdasarkan CBSA menuntut kondisi-kondisi tertentu untuk menjamin kadar CBSA yang tinggi guna mencapai tujuan pembelajaran atau hasil belajar siswa pada tingkat optimal. Penyelenggaraan pembelajaran CBSA tersebut ditandai oleh indikator-indikator sebagai berikut:
1.         Derajat partisipasi dan responsif siswa yang tinggi. Para siswa berperan serta secara aktif dan bersikap responsif dalam proses pembelajaran. Siswa tidak tinggal diam hanya menunggu stimuli yang disampaikan oleh guru, melainkan berperan aktif menentukan stimuli misalnya merumuskan suatu masalah dan mencari jawahan serdiri (responsif) atas masalah tersebut. Pada waktu guru menyajikan suatu topik, siswa aktif-responsif mempertanyakan materi yang terkandung didalamnya. Kedua contoh tersebut sebagai landa, bahwa siswa berperan serta dalam proses pembelajaran.
2.         Keterlibatan siswa dalam pelaksanaan pembuatan tugas. Pada dasarnya sejak disusunnya perencanaan tugas-tugas, para siswa telah dapat diaktifkan peran sertanya. Siswa dapat mengajukan usul dan minat tugas yang diinginkannya dengan asumsi bahwa tugas tersebut sesuai dengan kemampuannya. Pada waktu pembuatan tugas, siswa melaksanakan kegiatan kelompok atau dengan belajar mandiri. Pada waktu penilaian tugas (hasil pekerjaannya), siswa hendaknya aktif menilai tugas-tugas temannya dan hasil kerjanya sendiri dalam bentuk menilai dirinya sendiri (self evaluation). Hal ini menunjukan, bahwa tersedia berbagai kemungkinan dimana siswa dapat berperan aktif dalam pelaksarman tugas-tugas yang dikondisikan dalam pembelajaran.
3.         Peningkatan kadar CBSA dalam proses pembelajaran juga ditentukan oleh faktor guru. Guru hendaknya menyadari tujuan-tujuan belajar yang ingin dicapai, baik dalam arti efek instruksional maupun efek pengiring, dan dalam pada itu memiliki wawasan dan penguasaan yang memadai tentang bermacam-macam stategi belajar mengajar yang dimanfaatkan untuk mencapai tujuan belajar. Sudah barang tentu penguasaan teknik yang mantap juga merupakan persyaratan sebelum seorang guru bisa secara Kreatif merancang dan menginformasikan program belajar mengajar.
4.         Pendekatan CBSA pada dasarnya dapat diterapkan sentua strategi dan metode mengajar, walaupun kadaannya berbedabeda. Penggunaan metode mengajar, secara berpariasi dapat memberikan peluang penerapan CBSA dengan kadar yang tinggi. Namun demikian, pemilihan metode tersebut tetap harus ditandasi oleh tujuan yang hendak dicapai, bahan pelajaran yang hendak dipelajari, kondisi subjek belajar itu sendiri (motivasi, pengalaman awal, kondisi kesehatan, keadaan mental, dan lain-lain), serta penguasaan guru terhadap metode tersebut. Dengan demikian, keaktivan siswa belajar tetap terarah, terbimbing, dan diharapkan mencapai hasil secara optimal.
5.         Penyediaan media dan peralatan serta berbagai fasilitas belajar tetap diperlukan, agar tercipta lingkungan belajar yang menantang dan merangsang serta meningkatkan kegiatan belajar siswa. Pengetahuan dan keterampilan dalam bidang kemediaan dan teknologi hardware sangat diisyaratkan. Media dan alat merupakan alat bantu bagi siswa kendatipun mereka diminta untuk memilih dan  menggunakannya sendiri sesuai dengan aktivitas belajarnya.
6.         Keaktifan belajar berdasarkan CBSA tidak jarang menimbulkan kesulitan balajar pada siswa, misalnya teknik-teknik belajar, memilih bahan, menilai hasil kegiatan, tim masalah-masalah lain. Itu sebabnya, bimbingan dan pembelajaran remedial pada waktu tertentu diperlukan untuk membantu siswa bersangkutan, sehingga kecepatan belajar dan penyelesaian tugas-tugas tetap terus berlangsung menyertai rekan-rekannya yang tidak mendapat kesulitan.
7.         Kondisi lingkungan kelas/sekolah turut berpengaruh terhadap pelaksanaan pembelajaran berdasarkan CBSA. Pengaturan, dan pembinaan lingkungan ini perlu mendapat dari pihak guru melalui kerja sama dengan guru-guru lainnya serta para siswa sendiri. Termasuk dalam lingkungan kelas juga suasana. disiplin kelas yang baik.

E.     Kadar CBSA
Kadar ini ditandai oleh semakin banyaknya dan bervariasinya keaktifan dan keterlibatan siswa dalam proses belajar mengajar. Semakin banyak dan semakin beragamnya keaktifan dan keterlibatan siswa, maka semakin tinggi pula kadar ke-CBSA-annya. Sebaliknya, semakin sedikit keaktifan dan keterlibatan siswa dalam proses belajar mengajar, maka berarti semakin rendah kadar CBSA tersebut.
Kadar CBSA itu dalam rangka sistem belajar mengajar menunjukkan ciri-ciri, sebagai berilmu :
1.         Pada tingkat masukan, ditandai oleh:
a.       Adanya keterlibatan siswa dalam merumuskan kebutuhan pembelajaran sesuai dengan kemampuan, minat, pengalaman, motivasi, aspirasi yang telah dimiliki sebagai baban masukan untuk melakukan kegiatan belajar.
b.      Adanya keterlibatan siswa dalam menyusun rancangan belajar dan pembelajaran, yang menjadi acuan baik bagi siswa mupun bagi guru.
c.       Adanya keterlibatan siswa dalam memilih dan menyediakan sumber bahan pembelajaran.
d.      Adanya keterlibatan siswa dalam pengadaan media pembelajaran yang akan digunakan sebagai alat bantu belajar.
e.       Adanya kesadaran dan keinginan belajar yang tinggi serta motivasi untuk melakukan kegiatan belajar.
2.         Pada tingkat proses, kadar CBSA ditandai dengan:
a.       Adanya keterlibatan siswa secara fisik, mental, emosional, intelektual, dan personal dalam proses belajar.
b.      Adanya berbagai keaktifan siswa mengenal, memahami, menganalisis, berbuat, memutuskan, dan berbagai kegiatan belajar lainnya yang mengandung unsur kemandirian yang cukup tinggi.
c.       Keterlibatan secara aktif oleh siswa dalam menciptakan suasana belajar yang serasi, selaras dan seimbang dalam proses belajar dan pembelajaran.
d.      Keterlibatan siswa menunjang upaya guru menciptakan lingkungan belajar untuk memperoleh pengalaman belajar serta turut membantu mengorganisasikan lingkungan belajar itu, baik secara individual maupun secara kelompok.
e.       Keterlibatan siswa dalam meneari imformasi dari berbagai sumber yang berdaya guna dan tepat guna bagi mereka sesuai dengan rencana kegiatan belajar yang telah mereka rumuskan sendiri.
f.       Keterlibatan siswa dalam mengajukan prakarsa, memberikan jawaban atas penanyaan guru, mengajukan penanyaan/ masalah dam berupaya menjawabnya sendiri, menilai jawaban dari rekannya, dan memecahkan masalah yang timbul selama berlangsungnya proses belajar mengajar tersebut.
3.         Pada tingkat produk, kadar CBSA ditandai oleh:
a.       Ketertibatan siswa dalam menilai diri sendiri, menilai teman sekelas.
b.      Keterlibatan siswa secara mandiri mengerjakan tugas menjawab tes dan mengisi instrumen penilaian lainnya yang diajukan oleh guru.
c.       Keterlibatan siswa menyusun laporan baik tertulis maupun lisan yang berkenaan dengan hasil belajar.
d.      Keterlibatan siswa dalam menilai produk-produk kerja sebagal hasil belajar dan pembelajaran.
Berdasarkan ciri-ciri tersebut dapat ditentukan derajat kadar CBSA dalam suatu proses belajar mengajar, dan bila mungkin di klasifikasikan menjadi: kadar tinggi, kadar sedang, dan kadar rendah. Kendatipun tampak, bahwa keaktifan guru sangat menonjol, namun tidak berarti keaktifan guru di abaikan. Tanpa upaya dan pengaruh serta arahan guru sebagai fasilitator dan pengorganisasian belajar, maka kadar CBSA yang diinginkan tak mungkin tercapai. Guru tetap bertanggungjawab menciptakan lingkungan belajar yang mampu mengundang / menantang siswa untuk belajar.

F.    Hakikat Pendekatan CBSA
Siswa pada hakekatnya memiliki potensi atau kemampuan yang belum terbentuk secara jelas, maka kewajiban gurulah untuk merangsang agar mereka mampu menampilkan potensi itu. Para guru dapat menumbuhkan keterampilan-keterampilan pada siswa sesuai dengan taraf perkembangannya, sehingga mereka memperoleh konsep. Dengan mengembangkan keterampilan-keterampilan memproses perolehan, siswa akan mampu menemukan dan mengembangkan sendiri fakta dan konsep serta mengembangkan sikap dan nilai yang dituntut. Proses belajar-mengajar seperti inilah yang dapat menciptakan siswa belajar aktif.
Hakekat dari CBSA adalah proses keterlibatan intelektual-emosional siswa dalam kegiatan belajar mengajar yang memungkinkan terjadinya:
a.       Proses asimilasi/pengalaman kognitif, yaitu: yang memungkinkan terbentuknya pengetahuan
b.      Proses perbuatan/pengalaman langsung, yaitu: yang memungkinkan terbentuknya keterampilan
c.       Proses penghayatan dan internalisasi nilai, yaitu: yang memungkinkan terbentuknya nilai dan sikap.

Walaupun demikian, hakekat CBSA tidak saja terletak pada tingkat keterlibatan intelektual-emosional, tetapi terutama juga terletak pada diri siswa yang memiliki potensi, tendensi atau kemungkinan kemungkinan yang menyebabkan siswa itu selalu aktif dan dinamis. Oleh sebab itu guru diharapkan mempunyai kemampuan profesional sehingga ia dapat menganalisis situasi instruksional kemudian mampu merencanakan sistem pengajaran yang efektif dan efisien. Dalam menerapkan konsep CBSA, hakekat CBSA perlu dijabarkan menjadi bagian-bagian kecil yang dapat kita sebut sebagai prinsip-pninsip CBSA sebagai suatu tingkah laku konkret yang dapat diamati. Dengan demikian dapat kita lihat tingkah laku siswa yang muncul dalam suatu kegiatan belajar mengajar.

Sebagaimana dikatakan diatas, bahwa ada dua hal penting dalam proses belajar, yakni :
(a) confrontation with new information or experience, dan
(b) the leaner's personal discovery of the meaning of that experience
Kedua hal ini bersifat kontinum. Ujung kegiatan belajar tidak hanya pada proses keaktifan kognitif semata. Pada gilirannya keaktifan kognitif harus mampu memandu anak untuk memperoleh makna (hikmah). Hikmah (makna) adalah nilai–nilai ( value) formal-material maupun substansial yang terpetik dari akibat pergaulan anak ( pengalaman belajar) dengan obyek belajar. Nilai-nilai inilah sesungguhnya yang menjadi soko guru meluasnya cakrawala pandang maupun pendalaman kemampuan anak menyikapi dunianya.

Berkenaan dengan pengertian bahwa belajar adalah confrontation with new information or experience, kiranya sejalan dengan pandangan yang dikatakan oleh Gagne ( Suprihadi,dkk.2002), bahwa belajar perwujudannya sebagai reaksi mental-intelektual. Reaksi mental atau kognitif itu terjadi, manakala anak berhadapan dengan obyek eksternal di lingkungan sekitar anak yang menstimulasinya. Obyek eksternal yang dimaksud dapat berwujud data, fakta, peristiwa, problema, perintah, tugas penjelasan, dan sejenisnya. Dalam kaitan itu, maka cara belajar siswa aktif apa bila dihubungkan dengan konsep bahwa belajar adalah confrontation with new information or experience, maka CBSA berarti reaksi mental-intelektual anak dalam kaitannya dengan proses penelusuran makna (hikmah) terhadap sejumlah data, fakta, peristiwa, penyelesaian problem, pelaksanaan perintah/tugas, dan sebagainya. Sementara apabila dikaitkan dengan konsep bahwa belajar adalah the learne’s personal discovery of the meaning of that experience, maka CBSA berarti proses pemerolehan makna (hikmah) sebagai hasil dari pengalaman belajar anak dengan lingkungan maupun obyek belajarnya.

Berkenaan dengan uraian di atas, maka pembelajaran yang menerapkan prinsip CBSA, dapat dilihat sebagai proses pengaktifan anak untuk berinteraksi dengan obyek belajar untuk mendapatkan hikmah yang terkandung dalam obyek belajat tersebut. Apabila disepadankan dengan Gagne (1975) maka pembelajaran adalah seperangkat peristiwa yang diciptakan dan dirancang untuk mendorong, menggiatkan dan mendukung belajar siswa (Hanafi dan Manan, 1988:14). Demikian pula dengan pandangan Raka Joni (1980:1) bahwa pembelajaran adalah penciptaan sistem lingkungan yang memungkinkan terjadinya belajar. Berbagai pandangan tersebut pada dasarnya setara bahwa pembelajaran yang berprinsip CBSA adalah proses penciptaan sistem lingkungan yang menyediakan seperangkat peristiwa untuk merangsang anak agar melakukan aktivitas belajar.

Walaupun telah lama kita menyadari bahwa belajar memerlukan keterlibatan secara aktif orang yang belajar (si pelajar), dalam kenyataanya masih menunjukkan kecenderungan yang berbeda. Dalam suatu proses pembelajaran yang diselenggarakan, masih tampak adanya kecenderungan meminimalkan peran dan keterlibatan si belajar. Dominasi guru dalam proses pembelajaran menyebabkan si pembelajar (siswa) hanya berperan dan terlibat secara pasif, mereka (para siswa) lebih banyak menunggu sajian dari guru ketimbang mencari dan menemukan sendiri pengetahuan, keterampilan, serta sikap yang mereka butuhkan. Apabila kondisi proses pembelajaran yang memaksimalkan peran dan keterlibatan guru serta meminimalkan peran dan keterlibatan si belajar, akan mengakibatkan sulit tecapainya tujuan pendidikan yakni meletakkan dasar yang dapat dipakai sebagai loncatan untuk menggapai pendidikan yang lebih tinggi, di samping kemampuan dan gairah untuk belajar terus menerus.

Bertolak pada pemikiran-pemikiran yang terkandung dalam konsepsi pendidikan seumur hidup dan konsepsi belajar serta kenyataan proses pembelajaran, maka peningkatan menerapkan CBSA merupakan kebutuhan yang harus segera terpenuhi. Guru hendaknya tidak lagi mengajar sebagai kegiatan menyapaikan pengetahuan, ketrampilan, dan sikap kepada siswanya. Guru hendaknya mengajar untuk membelajarkan siswa dalam konteks belajar bagaimana belajar mencari, menemukan dan meresapi pengetahuan, keterampilam dan sikap.

Dalam setiap proses belajar berdasarkan konsep diatas, sudah pasti menampakkan keaktifan siswa. CBSA bukanlah menyiratkan dikotomi antara pembelajaran dengan CBSA dan tidak CBSA. Hal ini berarti, setiap peristiwa pembelajaran yang diselenggarakan oleh guru dapat dipastikan adanya CBSA dan tidak dimungkinkan tidak tejadi ke-CBSA-an dalam suatu peristiwa pembelajaran. Ke-CBSA-an pembelajaran hanya dapat dilihat dari kadar potensialitasnya. Oleh karena itu, ada pembelajaran dengan kdar CBSA tinggi atau rendah. Kadar ke-CBSA-an ini dapat ditilik dari kadar keaktifan belajar yang tampak pada diri anak.

Keaktifan-keaktifan siswa dalam peristiwa pembelajaran beraneka ragam bentuknya, dari kegiatan fisik yang mudah diamati sampai kegiatan psikis yang sulit diamati. Kegiatan fisik yang dapat diamati seperti membaca, mendengarkan, menulis memeragakan, dan kegiatan fisik lainnya. Contoh-contoh kegiatan psikis seperti misalnya menggunakan khasanah pengetahuan yang dimiliki dalam memecahkan masalah yang dihadapi, menyimpulkan hasil eksperimen, membandingkan satu konsep dengan yang lain, dan kegiatan psikis yang lainnya.

Namun demikian semuanya itu harus dapat dipulangkan kepada satu karakteristik, yaitu keterlibatan intelektual emosional siswa dalam kegiatan pembelajaran, yang bersangkut paut dengan: asimilasi dan akomodasi kognitif dalam pencapaian atau pemerolehan pengetahuan, perbuatan serta pengalaman langsung terhadap balikan yang diberikan dalam pembentukan ketrampilan, dan penghayatan serta internalisasi nilai-nilai dalam pembentukan sikap dan nilai. Dengan kata lain, keaktifan dalam rangka CBSA menunjuk kepada keaktifan mental, intelektual maupun emosional, meskipun untuk merealisasikan ini dalam banyak hal dipersyaratkan atau dibutuhkan keterlibatan langsung dalam berbagai bentuk keaktifan fisik.

Berdasarkan pembahasan tentang hakekat CBSA, kita dapat menandai adanya rentangan derajat / kadar ke-CBSA-an dari peristiwa pembelajaran. Rentangan ini terjadi sebagai akibat dari adanya arah kecenderungan peristiwa pembelajaran, yakni pembelajaran berorientasi pada guru dan pembelajaran berorientasi siswa. CBSA akan lebih tampak dan menunjukkan kadar yang tinggi apabila pembelajaran lebih berorientasi kepada siswa, dan akan sebaliknya bila arah kecenderungan pembela jarannya berorientasi kepada guru.

Mc Keachie mengemukakan 7 (tujuh) dimensi proses pembelajaran yang mengakibatkan terjadinya variasi ke-CBSA-an, dimensi-dimensi yang dimaksud adalah:
1.      Partisipasi siswa dalam menetapkan tujuan kegiatan belajar-mengajar.
2.      Tekanan pada aspek Efektif dalam pembelajaran,
3.      Partisipasi siswa dalam kegiatan pembelajaran, terutama yang berbentuk interaksi antar siswa,
4.      Penerimaan (acceptance) guru terhadap perbuatan dan konstribusi siswa yang kurang relevan atau bahkan sama sekali salah,
5.      Kekohesifan kelas sebagai kelompok,
6.      Kesempatan yang diberikan kepada siswa untuk ikut mengambil bagian dalam penetapan keputusan-keputusan penting dalam kegiatan pembelajaran
7.      Jumlah waktu yang digunakan untuk menanggulangi masalah pribadi siswa baik yang tidak berhubungan dengan sekolah/pembelajaran.

Yamamoto meninjau ke-CBSA-an suatu pembelajaran dari segi kesadaran para siswa dan guru yang terlibat dalam proses pembelajaran. Lebih jauh Yamamoto mengungkapkan bahwa proses pembelajaran yang optimal terjadi apabila siswa yang belajar maupun guru yang membelajarkan memiliki kesadaran dan kesengajaan terlibat dalam proses pembelajaran. Kesadaran dan kesengajaan melibatkan diri dalam proses pembelajaran pada diri para siswa dan guru, akan dapat memunculkan berbagai interaksi pembelajaran.

H.C Lindgren mengemukakan empat kemungkinan interaksi belajar mengajar, yakni:
(1) Interaksi satu arah, dimana guru bertindak sebagai penyampai pesan dan siswa sebagai penerima pesan.
(2)   Interaksi dua arah antara guru-siswa, di mana guru memperoleh umpan balik dari siswa
(3)   Interaksi dua arah antara guru-siswa, di mana guru mendapat balikan dari siswa. Selain itu siswa saling berinteraksi atau belajar satu dengan yang lain.
(4)   Interaksi optimal antara guru-siswa, dan antara siswa-siswa.

Kadar ke-CBSA-an dan kebermaknaan suatu proses pembelajaran, Ausubel (1978) mengungkapkannya dalam dua dimensi yang dipertentangkan. Dua dimensi tersebut ialah:
(1)   kebermaknaan bahan dan proses pembelajaran, dan
(2)   modus-modus pembelajaran.
Keterhubungan dua dimensi proses pembelajaran yang dikemukakan oleh Ausubel, kita dapat melihat bahwa tidak semua modus ekspositoris selalu kurang/tidak bermakna bagi si belajar(siswa). Dan tidak semua dan/atau selamanya modus discovery selalu bermakna penuh bagi si belajar. Hal yang dikemukakan di atas, menunjukkan bahwa dua dimensi proses pembelajaran sebagaimana dikemukakan oleh Ausubel merupakan dua variabel independent.

Dari uraian pada alinea-alinea sebelumnya, pada akhirnya kita dapat memahami keragaman hakekat CBSA dalam suatu proses pembelajaran. Untuk memudahkan pemahamannya, kita dapat kembalikan pada empat variabel independent proses pembelajaran, yakni berikut:
1.      Ciri siswa, misalnya kemampuan skolastik, motivasi, dan lainnya.
2.      Ciri guru, misalnya kemampuan pembuatan program pembelajaran, sikap dan kewibawaan terhadap siswa, dan lainnya;
3.      Ciri mata pelajaran, misalnya jenis isi pelajaran, cara membelajarinya, dan
4.      Ciri situasi pembelajaran, misalnya komponen perilaku pembelajaran kubu-kubu teori belajar, ketersediaan sumber belajar, dan yang lain.

G.      Faktor – Faktor Optimalisasi CBSA
Proses belajar siswa perlu diorganisasikan secara mandiri agar anak mampu mengolah hasil pengalaman belajarnya tersebut menjadi hasil temuan sendiri. Dengan pola pengorganisasian belajar mandiri tersebut, hasil belajar anak akan lebih bermakna. Ini berarti bahwa proses pembelajaran perlu diorganisasikan dalam suatu pola pembelajaran yang menekankan prinsip dasar cara belajar siswa aktif. Untuk melaksanakan prinsip dasar cara belajar siswa aktif tersebut, ada beberapa faktor penentu yang secara prinsip perlu diperhatikan guru dalam pelaksanaannya, yakni uraian berikut ini.
Self Concept
Dalam pelaksanaan proses belajar mengajar, salah satu konstribusi gerakan CBSA adalah pentingnya pembentukan self-concept. Self concept merupakan penentu utama dalam setiap tingkah laku manusia. Sehubungan dengan hal tersebut, guru dalam melaksanakan kegiatan belajar mengajar harus mengupayakan agar terbentuknya self concept secara positif. Self-concept secara positif akan dapat meningkatkan adalah munculnya motivasi belajar yang bersifat intristik. Kenyataan pentingnya menumbuhkan self concept ini didasrkan atas psikologi humanistic yang melihat individu sebagai functioning or organisme yang masing-masing berusaha membangun self-concept.
Peranan guru didalam kerangka ini adalah secara terus menerus melakukan segala sesuatu yang membantu membangun self-concept mereka. Ini berarti bahwa guru melibatkan siswa didalam proses pembelajaran, sehingga mereka memiliki pengalaman sukses, membantu sikap dengan sikap terbuka, tidak mengancam, menerima, menyukai, dan mengurangi rasa takut. Melalui penerapan prinsip CBSA, guru hendaknya semakin menyadari bahwa siswa mempelajari ilmu pengetahuan saja tidak cukup, pembeljaran harus lebih aktif dalam membantu anak menghadapi tantangan hidup modern. Untuk itu, guru harus lebih aktif dalam membantu siswa mengembangkan positive awareness (sadar diri), positive self consciousness (insaf diri), dan menjadi individu yang utuh dengan positive self-concept.
Positive Self Consept (Suprihadi, 1993:125) dapat menumbuhkan sikap-sikap positif dalam belajar. Sikap positif tersebut antara lain:
(1) percaya diri-sendiri (self confident),
(2) berani mengemukakan pendapat,
(3) peka terhadap permasalahan,
(4) kreatif dan berani mengambil resiko,
(5) bertanggung jawab,
(6) terbuka dan demokratis,
(7) tidak mudah putus asa-ulet.
Kreatifitas
Kreatifitas siswa dalam rangka CBSA perlu mendapat perhatian khusus di dalam kegiatan pembelajaran. Kreatifitas siswa merupakan faktor utama dalam ke-CBSA-an proses belajar mengajar. Dengan kata lain, CBSA dapat dapat terwujud secara nyata apabila siswa mempunyai kreatifitas yang tinggi. Tanpa kreatifitas siswa, CBSA tidak pernah menjadi wujud. Implikasinya bagi tindak mengajar guru, dalam rangka penumbuhan kreatifitas tersebut, perlu melibatkan siswa dalam kegiatan-kegiatan kreatif, yang berarti guru dituntut untuk mampu menciptakan situasi yang memungkinkan munculnya kreatifitas anak.
Abraham Maslow menyatakan bahwa tidak mungkin bagi siswa dapat mewujudkan diri sepenuhnya (self actualized person) tanpa dipersyarati kreatifitas. Kreatifitas dapat mempengaruhi individu dalam usahanya untuk mewujudkan dirinya (self actualized).
Kreatifitas siswa dalam proses pembelajaran akan termanifestasikan dalam tingkah laku belajar seperti berikut.
1.      Fluency (kelancaran), yaitu kemampuan untuk mengemukakan ide-ide untuk memecahkan masalah.
2.      Flexibility (keluwesan), yaitu kemempuan menemukan berbagai macam ide untuk masalah di luar kategori yang biasa.
3.      Orginality (keaslian), yaitu kemampuan memberikan respon yang unik atas dasar hasil pemikirannya sendiri.
4.      Elaboration (keterperincian), yaitu kemampuan memberikan pengarahan secara terperinci untuk mewujudkan ide menjadi kenyataan.
5.      Sentivity (kepekaan), yaitu kemampuan menangkap masalah dari suatu situasi. Orang-orang kreatif, memiliki ciri-ciri tertentu.

Menurut Ornstein, (1977:380), ciri-ciri individu kreatif adalah inteligent, interesting, imaginative, flexible and perceptive, socially effective, and personally dominant. Sementara Taylor dalam Ornstein, (1977:380) menyebutkan ciri-ciri individu kreatif berikut ini.
1.      Intellectual.
Individu kreatif dari segi intelek tidak sama dengan individu inteligen, tetapi kemampuan kognitif yang esensial bagi individu kreatif adalah memiliki kemampuan berfikir secara divergen (originally, flexibility, and sensitivity), memiliki memory (daya ingat yang baik) dan mampu berfikir secara evaluatif.



2.      Motivational interest.
Individu kreatif adalah memiliki rasa ingintahu yang tinggi, suka bermain ide, dan suka terhadap tantangan, tidak putus asa, toleran dan serius dalam bekerja.

3.      Personality.
Individu kreatif memiliki kepribadian yang mandiri, berani mengambil resiko, banyak akal, dan suka berpetualangan.

Kemampuan kreatif seperti yang digambarkan tersebut merupakan prasyarat penerapan CBSA dalam proses pembelajaran. Untuk menuju terwujudnya CBSA, diperlukan kreatifitas siswa. Sudah barang tentu kreatifitas guru diperlukan pula, terutama dalam menciptakan sistem lingkungan pembelajaran. Sehubungan dengan hal itu, untuk mewujudkan sistem lingkungan belajar yang memiliki ketinggian kadar CBSA, guru dituntut agar mempunyai khasanah pengetahuan tentang berbagai macam sistem penyampaian, serta kadar ke CBSA-annya sebagaimana digambarkan pada diagram tentang kadar potensial keterlibatan guru dan siswa dalam sejumlah metode mengajar diatas. Disamping memiliki khasanah pengetahuan tentang berbagai macam sistem penyampaian dan kadar CBSA-nya, sudah barang tentu mempunyai kemampuan juga dalam penerapan macam-macam sistem penyampaian tersebut. Penyediaan sarana dan prasarana yang memadai merupakan implikasi logis dari penerapan CBSA.
CBSA dapat terlaksana secara wajar, apabila didukung oleh penggunaan multi media yang sesuai dengan sarana lain misalnya laboratorium, perpustakaan, bengkel, dan lain-lain.
Pengaruh Sikap Guru
Sikap guru dalam proses pembelajaran berpengaruh juga terhadap kewajaran penerapan CBSA. Dalam rangka CBSA, guru dituntut untuk berperan sebagai fasilitator. Ini berarti tugas utama guru adalah membantu memberikan kemudahan bagi kegiatan belajar siswa. Beberapa sikap yang harus dimiliki guru sehubungan dengan CBSA antara lain adalah:
(a)    memberi kesempatan kepada siswa untuk mengembangkan ide-idenya;
(b)   mengakui/menerima/menghargai ide-ide siswa;
(c)    bersifat terbuka atas kritik siswa;
(d)   bersikap sebagai patner dalam belajar;
(e)    bersedia membantu siswa yang mengalami kesulitan;
(f)    bersikap empati terhadap siswa; dan lain-lain.
Berkaitan dengan sikap guru tehadap siswa, Carl Rogers melalui pendekatan iklim sosio-emosional mengatakan faktor yang amat berpengaruh terhadap peristiwa belajar ialah mutu sikap yang ada dalam hubungan interpersonal antara guru dan siswa. Rogers mengemukakan beberapa sifat yang amat perlu ada, jika guru ingin membantu, percaya, dan sikap mau mengerti dengan penuh empati.
Penilaian Secara Komprehensif
Kecenderungan penilaian hasil belajar selama ini terarah pada bidang kognitif semata. kalau kita mencoba mengamati tampak bahwa bidang kognitif pun terletak pada tingkatan yang rendah. Penilaian sebagai alat untuk mengetahui kemajuan hasil belajar tidak memiliki nilai vadilitas apabila dalam prakteknya hanya mengacu bidang kognitif saja. Secara ideal penilaian hasil belajar harus menyeluruh sehingga nilai hasil belajar dapat menggambarkan secara tepat kemajuan belajar siswa. Menyeluruh (komprehensif) dalam pengertian bahwa semua aspek.
Aspek-aspek yang menjadi sasaran penilaian untuk mengukur kemajuan belajar siswa adalah sebagai berikut.
1.  Aspek kognitif :
(a)     produk ilmiah : fakta, konsep, prinsip, generalisasi, dan teori,
(b)     proses ilmiah: pengamatan, pemahaman, aplikasi, analisis, evaluasi, problem solving.
2.  Aspek afektif : emosional, minat, sikap, nilai, apresiasi, dan seterusnya.
3.  Aspek psikomotor : keterampilan motorik atau manipulasi obyek.
Penilaian secara komprehensif untuk mengukur kemajuan belajar yang meliputi semua aspek tersebut mempunyai implikasi tersendiri, baik menyangkut kemampuan guru, teknik penilaian, maupun instrumennya. Kemampuan guru dalam kaitan ini, dituntut benar-benar menguasai aspek-aspek yang perlu dinilai dan secara terampil dapat menggunakan berbagai teknik penilaian yang sesuai dengan masing-masing aspek yang akan di nilai, dan selanjutnya mampu menyusun instrumen secara tepat.

H.   Prinsip Prinsip CBSA
Pendekatan CBSA, seperti telah diisyaratkan, pada dasarnya merupakan gagasan konseptual dan bukan merupakan suatu prosedural-perseptual. Dengan demikian penerapan CBSA dalam pembelajaran diupayakan dengan menerapkan sejumlah prinsip dan rambu-rambu, sementara pada sisi lain dipergunakan sejumlah indikator untuk memperkirakan kadar keterlibatan siswa tersebut.
Dalam penerapan CBSA terdapat sejumlah prinsip yang perlu diperhatikan baik yang menyangkut siswa yang belajar maupun guru yang mengelola proses pembelajaran. Prinsip-prinsip tersebut, menurut T. Raka Jeni (1993) ialah
a)         penyediaan pijakan dan tuntunan kognitif oleh guru sehingga siswa terbantu untuk memberikan makna terhadap pengalaman belajarnya,
b)         kegiatan belajar mengajar yang beraneka ragam dari guru,
c)         pemberian tugas/ kesempatan bagi siswa untuk berbuat langsung guna mengkaji, berlatih/ menghayati isi kurikulum,
d)        guru berusaha memenuhi kebutuhan individu siswa,
e)         guru berupaya melibatkan sebanyak mungkin siswa dalam interaksi belajar mengajar,
f)          guru mencek pemahaman siswa, dan
g)         guru memberi balikan.
Sumber lain (P2SD – Ditdikdas, 1989/ 1990 : 2-5) mengemukakan tentang beberapa hal yang perlu diperhatikan guru dalam merancang dan melaksanakan CBSA, yaitu
a.          merupakan variasi kegiatan dan suasana belajar dengan penggunaan berbagai strategi belajar mengajar,
b.         menumbuhkan prakarsa siswa untuk aktif dan kreatif dalam kegiatan belajar mengajar,
c.          mengembangkan berbagai pola interaksi dalam proses belajar mengajar, baik antara guru dengan siswa maupun antar siswa,
d.         menggunakan berbagai sumber belajar, baik yang dirancang (by design) maupun yang dimanfaatkan (by utilization),
e.          pemantauan yang instensif dan diikuti dengan pemberian balikan yang spesifik dan segera

Banyak guru dan ahli pendidikan yang tidak sepemahaman tentang hakekat proses belajar dan hakekat CBSA secara tepat, namun mereka mengakui adanya prinsip-prinsip belajar dan prinsip CBSA yang hendaknya dapat dipatuhi.

Alvin C. Eurich dari Ford Foundation (1962 dalam Davies, 1987:32), telah menyimpulkan prinsip-prinsip belajar sebagai berikut:
1.      Hal apapun yang dipelajari siswa, maka ia harus mempelajari sendiri. Tidak ada seorangpun yang dapat melakukan kegiatan belajar tersebut untuknya.
2.      Setiap siswa, belajar menurut temponya sendiri-sendiri dan untuk setiap kelompok umur terdapat variasi dalam kecepatan belajarnya.
3.      Seorang siswa belajar lebih banyak bilamana setiap langkah segera diberikan pengukuhan (reinforcement).
4.      Penguasaan secara penuh dari setiap langkah, memungkinkan belajar secara keseluruhan lebih berarti.
5.      Apabila siswa diberikan tanggungjawab untuk membelajari sendiri, maka ia lebih termotivasikan untuk belajar dan ia akan belajar serta mengingant secara lebih baik.

Bertolak dari prinsip-prinsip belajar yang disimpulkan oleh Alvin C. Eurich, kita dapat mengkaji secara seksama prinsip-prinsip CBSA berikut ini. Pertama kita terlebih dahulu perlu mengingat sekali lagi, bawah CBSA ada dan tercipta dalam setiap proses pembelajaran. Hal ini mengandung konsekuensi bawah prinsip-prinsip CBSA tertampak pada dimensi manusia (baik siswa maupun guru), dimensi program, dan dimensi situasi dari proses pembelajaran.
Prinsip-prinsip yang perlu ada pada dimensi program pembelajaran CBSA adalah sebagai berikut.
a.          Penentuan tujuan dan isi pelajaran
Prinsip ini menuntut agar dalam mengembangkan program pembelajaran hendaknya dilakukan penyesuaian antara tujuan dari isi pembelajaran dengan karakteristik siswa, sehingga dapat memenuhi kebutuhan, minat dan kemampuan siswa.

b.         Pengembangan konsep dan aktivitas siswa.
Prinsip ini mempersyaratkan agar program mampu menyajikan alternatif kegiatan yang mengarah pada pengembangan konsep aktifitas belajar siswa.

c.          Pemilihan dan penggunaan berbagai metode clan media
Prinsip ini menuntut agar guru mampu memilih dan sekaligus mampu menggunakan berbagai strategi dan metode belajar-mengajar, sehingga dapat menciptakan kondisi belajar yang dapat membelajarkan siswa secara aktifdan penuh makna.

d.         Penentuan metode dan media
Prinsip ini mempersyaratkan agar dalam program pembelajaran diberikan altematif metode dan media yang dapat dipilih secara luwes, maksudnya pengembangan program hendaknya mampu memilih metode atau media sebagai alternatif memilih kesetaraan.

Prinsip CBSA adalah tingkah laku belajar yang mendasarkan pada kegiatan-kegiatan yang nampak, yang menggambarkan tingkat keterlibatan siswa dalam proses belajar-mengajar baik intelektual-emosional maupun fisik. Prinsip-Prinsip CBSA yang nampak pada 4 dimensi sebagai berikut:
a.       Dimensi subjek didik :
-          Keberanian mewujudkan minat, keinginan, pendapat serta dorongan-dorongan yang ada pada siswa dalam proses belajar-mengajar. Keberanian tersebut terwujud karena memang direncanakan oleh guru, misalnya dengan format mengajar melalui diskusi kelompok, dimana siswa tanpa ragu-ragu mengeluarkan pendapat.
-          Keberanian untuk mencari kesempatan untuk berpartisipasi dalam persiapan maupun tindak lanjut dan suatu proses belajar-mengajar maupun tindak lanjut dan suatu proses belajar mengajar. Hal ini terwujud bila guru bersikap demokratis.
-          Kreatifitas siswa dalam menyelesaikan kegiatan belajar sehingga dapat mencapai suatu keberhasilan tertentu yang memang dirancang oleh guru.
-          Kreatifitas siswa dalam menyelesaikan kegiatan belajar sehingga dapat mencapai suatu keberhasilan tertentu, yang memang dirancang oleh guru.
-          Peranan bebas dalam mengerjakan sesuatu tanpa merasa ada tekanan dan siapapun termasuk guru.

b.      Dimensi Guru
Adanya usaha dan guru untuk mendorong siswa dalam meningkatkan kegairahan serta partisipasi siswa secara aktif dalam proses belajar-mengajar.
-          Kemampuan guru dalam menjalankan peranannya sebagai inovator dan motivator.
-          Sikap demokratis yang ada pada guru dalam proses belajar-mengajar.
-          Pemberian kesempatan kepada siswa untuk belajar sesuai dengan cara serta tingkat kemampuan masing-masing.
-          Kemampuan untuk menggunakan berbagai jenis strategi belajar-mengajar serta penggunaan multi media. Kemampuan ini akan menimbulkan lingkuñgan belajar yang merangsang siswa untuk mencapai tujuan.

c.       Dimensi Program
-          Tujuan instruksional, konsep serta materi pelajaran yang memenuhi kebutuhan, minat serta kemampuan siswa. Tujuan instruksional merupakan suatu hal yang sangat penting diperhatikan guru.
-          Program yang memungkinkan terjadinya pengembangan konsep maupun aktivitas siswa dalam proses belajar-mengajar.
-          Program yang fleksibel (luwes); disesuaikan dengan situasi dan kondisi.

d.      Dimensi situasi belajar-mengajar
-          Situasi belajar yang menjelmakan komunikasi yang baik, hangat, bersahabat, antara guru-siswa maupun antara siswa sendiri dalam proses belajar-mengajar.
-          Adanya suasana gembira dan bergairah pada siswa dalam proses belajar-mengajar.

Prinsip-prinsip CBSA yang hendaknya dipatuhi adalah:
1.      Keberanian siswa untuk mewujudkan minat, keinginan, dan dorongan/motif yang ada pada dirinya. Siswa yang terlibat dalam proses pembelajaran hendaknya hendaknya menyadari bahwa belajar merupakan tugasnya, dan agar siswa belajar secara aktif ia dapat memulai dengan belajar untuk mewujudkan minatnya, belajar untuk mewujudkan dorongan/motifnya.

2.      Keinginan dan keberanian siswa untuk ikut serta. Prinsip ini menuntut agar siswa memiliki keinginan dan keberanian mewujudkan minat, keinginan, dan dorongan yang ada didalam dirinya melalui partisipasi atau keikutsertaan mereka dalam proses pembelajaran. Hal ini akan menyebabkan siswa menyadari pentingnya partisipasi atau keikutsertaan dalam proses pembelajaran, sehingga mereka belajar secara aktif.


3.      Usaha dan kreativitas siswa. Prinsip ini menuntut agar siswa tidak berhenti apabila suatu saat menghadapi masalah, mereka diharapkan mau berusaha dan menggunakan kreativitasnya untuk memecahkan masalah tersebut.

4.      Keinginantahuan yang benar. Prinsip ini menuntut agar siswa selalu bertanya tentang segala sesuatu yang belum mereka ketahui, misalnya: apa yang menyebabkan baterai dapat menghidupkan bola lampu? Dengan memiliki keinginantahuan yang benar, siswa akan menjadi selalu aktif menemukan dan mencari jawaban atas pertanyaan-pertanyaan yang ada pada diri mereka.


5.      Rasa lapang dan bebas. Prinsip ini menuntut agar perasaan siswa tidak berada dalam ketakutan sewaktu berbuat, dan juga mereka tidak tertekan serta terbelenggu dalam mengemukakan maupun mengungkapkan suatu ide atau gagasan.

6.      Usaha guru membina dan mendorong siswa. Prinsip ini menuntut kepada guru agar selalu mempertahankan keaktifan siswa selama berlangsungnya proses pembelajaran, dengan jalan mengusahakan terbinanya dan terdorongnya siswa untuk belajar secara aktif.


7.      Guru sebagai inovator dan fasilitator. Prinsip ini menuntut agar guru selalu tanggap terhadap setiap pembaharuan dan berusaha menyebarluaskan pembaharuan tersebut. Selain itu, guru juga dituntut untuk bertindak sebagai fasilitator yang siap menyediakan kemudahan-kemudahan dalam proses pembelajaran.

8.      Sikap tidak mendominir. Prinsip ini menuntut agar guru menyadari bahwa yang primer dalam proses pembelajaran adalah siswa, sedangkan guru memiliki peran sekunder. Hal ini lebih jauh menuntut agar guru lebih meningkatkan terjadinya proses belajar pada diri siswa, ketimbang mementingkan terjadinya proses mengajar atau aktivitas pada diri guru yang belum tentu membelajarkan siswa.


9.      Memberi kesempatan kepada siswa untuk belajar menurut cara, irama, dan kemampuannya. Prinsip ini menuntut agar guru selalu memperhatikan kekarakteristik siswa secara orang per orang, sehingga dapat menyediakan kesempatan dan kemudahan kepada siswa untuk belajar. Hal ini berarti pula guru hendaknya selalu siap membantu siswa secara orang per orang.

10.  Pemilihan dan penggunaan berbagai strategi pembelajaran dan multi media. Prinsip ini menuntut agar guru mampu memilih dan sekaligus menggunakan berbagai strategi pembelajaran, dimana strategi pembelajaran itu hendaknya menciptakan kondisi belajar yang penuh kebermaknaan. Selain itu, guru hendaknya dapat memilih dan menggunakan multi media dalam pembelajaran.


11.  Tujuan dan materi (isi) pelajaran memenuhi kebutuhan, minat serta kemampuan siswa. Prinsip ini menuntut agar dalam mengembangkan program pembelajaran hendaknya menyesuaikan tujuan dan isi pelajaran dengan karakteristik siswa, sehingga dapat memenuhi kebutuhan, minat, dan kemampuan siswa.

12.  Kemungkinan terjadinya pengembangan konsep dan aktivitas siswa. Prisip ini mempersyaratkan agar program mampu menyajikan alternatif kegiatan yang mengarah pada pengembangan konsep dan aktifitas belajar siswa.


13.  Penentuan metode dan media yang fleksibel. Prinsip ini mempersyratkan agar program memberikan alternatif metode dan media yang dapat dipilih secara luwes. Hal ini berarti, pengembangan program hendaknya mampu memilih metode dan/atau media yang dijadikan alternatif memiliki kesetaraan.

14.  Komunikasi guru-siswa yang intim dan hangat. Prinsip ini mempersyaratkan agar dalam situasi pembelajaran terjadi hubungan dua persona (guru-siswa) yang secara hakiki setara, sehingga mereka dapat berbuat bersama dan sejalan. Hubungan kewibawaan dalam kesetaraan guru-siswa, akan dapat diharapkan terjadinya komunikasi yang intim dan hangat antara keduanya. Adanya komu-nikasi yang intim dan hangat antara guru-siswa, akan memperlancar jalannya proser pembelajaran yang pada akhirnya dapat meningkat keaktifan siswa dalam belajar.


15.  Kegairahan dan kegembiraan belajar. Prinsip ini mempersyaratkan situasi pembelajaran yang dapat meningkatkan kegairahan dan kegembiraan belajar pada diri siswa. Kegairahan dan kegembiraan belajar akan tercipta apabila aktivitas belajar yang disediakan bersesuaian dengan karakteristik siswa. Adanya kegairahan dan kegembiraan belajar pada diri siswa, akam memaksimalkan keaktifan siswa dalam belajar.

Lima belas prinsip CBSA tersebut apabila nampak dalam dimensi masing-masing, maka dapat diharapkan kadar CBSA yang nampak pada dimensi siswa, dimensi guru, dimensi program, dan dimensi situasi pembelajaran; hendaknya menjadi perhatian setiap guru yang akan menyelenggarakan proses pembelajaran.

I.     Rambu-Rambu Pendekatan CBSA
Yang dimaksud dengan rambu-rambu CBSA adalah perwujudan prinsip-prinsip CBSA yang dapat diukur dan rentangan yang paling rendah sampai pada rentangan yang paling tinggi, yang berguna untuk menentukan tingkat CBSA dan suatu proses belajar-mengajar. Rambu-rambu tersebut dapat dilihat dari beberapa dimensi. Rambu-rambu tersebut dapat digunakan sebagai ukuran untuk menentukan apakah suatu proses belajar-mengajar memiliki kadar CBSA yang tinggi atau rendah. Jadi bukan menentukan ada atau tidak adanya kadar CBSA dalam proses belajar-mengajar. Bagaimanapun lemahnya seorang guru, namun kadar CBSA itu pasti ada, walaupun rendah.

a.       Berdasarkan pengelompokan siswa
Strategi belajar-mengajar yang dipilih oleh guru harus disesuaikan dengan tujuan pengajaran serta materi tertentu. Ada materi yang sesuai untuk proses belajar secara individual, akan tetapi ada pula yang lebih tepat untuk proses belajar secara kelompok. Ditinjau dari segi waktu, keterampilan, alat atau media serta perhatian guru, pengajaran yang berorientasi pada kelompok kadang-kadang lebih efektif.

b.      Berdasarkan kecepatan Masing-Masing siswa
Pada saat-saat tertentu siswa dapat diberi kebebasan untuk memilih materi pelajaran dengan media pembelajaran yang sesuai dengan kebutuhan mereka masing-masing. Strategi ini memungkinkan siswa untuk belajar lebih cepat bagi mereka yang mampu, sedangkan bagi mereka yang kurang, akan belajar sesuai dengan batas kemampuannya. Contoh untuk strategi belajar-mengajar berdasarkan kecepatan siswa adalah pengajaran modul.

c.       Pengelompokan berdasarkan kemampuan
Pengelompokan yang homogin dan didasarkan pada kemampuan siswa. Bila pada pelaksanaan pengajaran untuk pencapaian tujuan tertentu, siswa harus dijadikan satu kelompok maka hal ini mudah dilaksanakan. Siswa akan mengembangkan potensinya secara optimal bila berada disekeliling teman yang hampir sama tingkat perkembangan intelektualnya.

d.      Pengelompokkan berdasarkan persamaan minat
Pada suatu guru perlu memberi kesempatan kepada siswa untuk berkelompok berdasarkan kesamaan minat. Pengelompokan ini biasanya terbentuk atas kesamaan minat dan berorientasi pada suatu tugas atau permasalahan yang akan dikerjakan.

e.       Berdasarkan domein-domein tujuan
Strategi belajar-mengajar berdasarkan domein/kawasan/ranah tujuan, dapat dikelompokkan sebagai berikut:

1)         Menurut Benjamin S. Bloom CS
Menurut Benjamin S. Bloom CS, ada tiga domein ialah:
a) Domein kognitif, yang menitik beratkan aspek cipta.
b) Domein afektif, aspek sikap.
c) Dornein psikomotor, untuk aspek gerak.
2)    Gagne mengklasifikasi lima macam kemampuan ialah:
a) Keterampilan intelektual.
b) Strategi kognitif.
c) Informasi verbal.
d) Keterampilan motorik.
e) Sikap dan nilai.

CBSA dapat diterapkan dalam setiap proses belajar mengajar. Kadar CBSA dalam setiap proses belajar mengajar dipengaruhi oleh penggunaan strategi belajar mengajar yang diperoleh.

Dalam mengkaji ke-CBSA-an dan kebermaknaan kegiatan belajar mengajar, Ausubel mengemukakan dua dimensi, yaitu kebermaknaan bahan serta proses belajar mengajar dan modus kegiatan belajar mengajar. Ausubel mengecam pendapat yang menganggap bahwa kegiatan belajar mengajar dengan modus ekspositorik, misalnya dalam bentuk ceramah mesti kurang bermakna bagi siwa dan sebaliknya kegiatan belajar mengajar dengan modus discovery dianggap selalu bermakna secara optimal. Menurutnya kedua dimensi yang dikemukakan adalah independen, sehingga mungkin saja terjadi pengalaman belajar mengajar dengan modus ekspositorik sangat bermakna dan sebaliknya mungkin saja terjadi pengalaman belajar mengajar dengan modus discovery tetapi tanpa sepenuhnya dimengerti oleh siswa. Yang penting adalah terjadinya asimilasi kognitif pengalaman belajar itu sendiri oleh siswa.

J.    Pendekatan CBSA dalam Pembelajaran
Sejak dulu selalu dibicarakan masalah cara mengajar guru di kelas. Cara mengajar dipakainya dengan istilah metode mengajar. Metode diartikan cara. Jika diperhatikan berbagai metode yang dikenal dalam dunia pendidikan atau pembelajaran dan jumlahnya makin mengembang, maka dipertanyakan apakah metode itu. Ada beberapa jawaban untuk itu di antaranya, “Cara-cara penyajian bahan pembelajaran”. Dalam bahasa Inggris disebut “method”. Dalam kata metode tercakup beberapa faktor seperti, penentuan urutan bahan, penentuan tingkat kesukaran bahan, dan suatu sistem tertentu untuk mencapai tujuan tertentu. Di samping istilah metode yang diartikan sebuah “cara” ; bahkan ada yang menggunakan istilah “model”.

Pada umumnya metode lebih cenderung disebut sebuah pendekatan. Dalam bahasa Inggris dikenal dengan kata “approach” yang dimaksudnya juga “pendekatan”. Di dalam kata pendekatan ada unsur psikhis seperti halnya yang ada pada proses belajar mengajar. Semua guru profesional dituntut terampil mengajar tidak semata-mata hanya menyajikan materi ajar. lapun dituntut memiliki pendekatan mengajar sesuai dengan tujuan instruksional. Menguasai dan memahami materi yang akan diajarkan agar dengan cara demikian pembelajar akan benar-benar memahami apa yang akan diajarkan. Piaget dan Chomsky berbeda pendapat dalam hal hakikat manusia. Piaget memandang anak-akalnya-sebagai agen yang aktif dan konstruktif yang secara perlahan-lahan maju dalam kegiatan usaha sendiri yang terus-menerus. Keduanya tidak menyukai pendekatan-pendekatan psikologis yang lebih awal.

Pendekatan CBSA (Cara Belajar Siswa Aktif) menuntut keterlibatan mental siswa terhadap bahan yang dipelajari. Pendekatan CBSA menuntut keterlibatan mental vang tinggi sehingga terjadi proses-proses mental yang berhubungan dengan aspek-aspek kognitif, afektif dan psikomolorik. Melalui proses kognitif pembelajar akan memiliki penguasaan konsep dan prinsip.
K.   Rasionalisasi CBSA dalam Pembelajaran
Kita telah memasuki ambang “masyarakat belajar”, yaitu masyarakat yang menghendaki pendidikan masa seumur hidup (Husen, 1988: 41). Untuk mempersiapkan siswa menghadapi hal tesebut, kita perlu memikirkan jawaban atas pertanyaan: cara-cara bagaimana siswa memperoleh dan meresapkan pengetahuan, keterampilan dan sikap yang menjadi kebutuhannya? Dengan kata lain, guru hendaknya tidak hanya menyibukkan dirinya dengan kegiatan pemaksimalan penyajian isi pelajaran saja. Yang lebih penting dari pada itu, guru hendaknya memikirkan cara siswa belajar.
Untuk menjawab permasalahan yang terkandung dalam pertanyaan di atas, perlu kiranya mengkaji konsep belajar terlebih dahulu. Sudah sejak lama manusia mencoba mengkaji konsep belajar. John Dewey misalnya (1916 dalam Davies, 1987: 31) menekankan bahwa:
“Oleh karena belajar menyangkut apa yang harus dikerjakan murid-murid untuk dirinya sendiri, maka inisiatif harus datang dari murid-murid sendiri. Guru dalam pembimbing dan pengarah, yang mengemudikan perahu, tetapi tenaga untuk menggerakkan perahu tersenut haruslah berasal dari murid yang belajar.”
Walaupun telah lama kita menyadari bahwa belajar memerlukan keterlibatan secara aktif orang yang belajar, kenyataan masih menunjukkan kecenderungan yang berbeda. Dalam proses pembelajaran masih tampak adanya kecenderungan meminimalkan peran dan keterlibatan siswa. Dominasi guru dalam proses pembelajaran menyebabkan siswa lebih banyak berperan dan terlibat secara pasif., mereka lebih banyak menunggu sajian dari guru daripada mencari dan menemukan sendiri pengetahuan, keterampilan serta sikap yang mereka butuhkan. Apabila kondisi proses pembelajaran yang memaksimalkan peran dan keterlibatan siswa terjadi pada pendidikan dasar, temasuk pada sekolah dasar akan mengakibatkan sulit tercapainya tujuan pendidikan dasar yakni meletakkan dasar yang dapat dipakai sebagai batu loncatan untuk menggapai pendidikan yang lebih tinggi, disamping kemampuan dan kemauan untuk belajar terus-menerus sepanjang hayatnya.
Dengan penerapan CBSA, siswa diharapkan akan lebih mampu mengenal dan mengembangkan kapasitas belajar dan potensi yang dimilikinya secara penuh, menyadari dan dapat menggunakan potensi sumber belajar yang terdapat disekitarnya. Selain itu, siswa diharapkan lebih terlatih untuk berprakarsa, berfikir secara teratur, kritis, tanggap dan dapat menyelesaikan masalah sehari-hari, serta lebih terampil dalam menggali, menjelajah, mencari dan mengembangkan informasi yang bermakna baginya (Raka Joni, 1992:1). Pencapaian keadaan siswa yang diharapkan melalui penerapan CBSA ini, akan memungkinkan pembentukan sebagai “pengabdi abadi pencari kebenaran imu”.
Disisi yang lain, dengan penerapan CBSA, guru diharapkan bekerja secara profesional, mengajar secara sistematis, dan berdasarkan prinsip didaktik metodik yang berdaya guna dan berhasil guna (efisien dan efektif. Artinya guru dapat merekayasa sistem pembelajaran yang mereka laksanakan secara sistematis, dengan pemikiran mengapa dan bagaimana menyelenggarakan kegiatan pembelajaran aktif (Raka Joni, 1992:11). Lambat laun penerapan CBSA pada gilirannya akan mencetak guru-guru yang potensial dalam menyesuaikan diri terhadap perubahan lingkungan alam dan sosial budaya.
Penerapan CBSA dalam proses pembelajaran bertumpu pada sejumlah rasional. Yang terpenting diantaranya ialah rasional yang berkaitan langsung dengan upaya perwujudan tujuan utuh pendidikan serta karakteristik manusia dan masyarakat masa depan Indonesia yang dikehendaki.
Dewasa ini, seperti diketahui, kita telah memasuki ambang “masyarakat belajar”, yaitu masyarakat yang menghendaki pendidikan seumur hidup. Dalam latar pendidikan seumur hidup, proses belajar mengajar di sekolah seyogyanya mengemban misi utama, yaitu membelajarkan peserta didik sehingga pada saatnya nanti peserta didik memiliki kemampuan untuk belajar mandiri sebagai basis dari pendidikan seumur hidup.
Sebagaimana telah diungkapkan bahwa meskipun telah lama dipahami bahwa belajar memerlukan keterlibatan secara aktif orang yang belajar, kenyataan masih menunjukkan kecenderungan yang berbeda. Dalam proses pembelajaran masih tampak adanya kecenderungan meminimalkan peran dan keterlibatan siswa. Dominasi guru dalam proses pembelajaran menyebabkan siswa lebih banyak berperan sebagai peserta pasif. Proses pembelajaran sebagaimana digambarkan, jelas tidak mungkin mampu mempersiapkan peserta didik untuk mampu bersaing dalam kehidupan dan menyesuaikan diri terhadap berbagai tantangan yang makin berat. Pembelajaran seyogyanya diorientasikan pada pembentukan kemampuan bersikap dan berfikir kritis dibangun di atas konsep-konsep dari sistem filosofis yang kuat, dilakukan melalui proses pengajaran yang memberikan berbagai peluang dan pengalaman yang bermakna.
Secara umum, esensi tujuan pendidikan, menurut T. Raka Joni (1980) adalah pembentukan manusia yang bukan hanya dapat menyesuaikan diri hidup di dalam masyarakatnya, melainkan lebih dari pada itu, mampu menyambung bagi penyempurnaan masyarakat itu sendiri. Ini berarti bahwa para lulusan suatu lembaga pendidikan bukan hanya menghayati dan menginternalisasi nilai-nilai yang hidup di dalam masyarakatnya, akan tetapi juga, apabila itu diperlukan, juga mampu mendeteksi kekurangan-kekurangannya sehingga memungkinkan penyempurnaannya.

L.   Penerapan CBSA dalam Proses Belajar Mengajar
Dari uraian diatas, kita dapat menandai adanya prasyarat tertentu yang harus dimiliki oleh guru untuk meningkatkan kadar CBSA suatu proses pembelajaran. Peningkatan kadar CBSA dari suatu proses pembelajaran berarti pula mengarahkan proses pembelajaran yang berorientasi pada siswa atau dengan kata lain menciptakan pembelajaran berdasarkan siswa (Student Based Instruction).
Konsekuensi yang harus diterima dari adanya pembelajaran berdasarkan siswa, ialah:
(1)   Guru merupakan seorang pengelola (manager) dan perancang (designer) dari pengalaman belajar,
(2)   Guru dan siswa menerima pesan kerja sama,
(3)   Bahan-bahan pembelajaran dipilih berdasarkan kelayakannya,
(4)   Penting untuk melakukan identifikasi dan penuntasan syarat-syarat belajar (learning requirements),
(5)   Siswa dilibatkan dalam pembelajaran,
(6)   Tujuan ditulis secara jelas,
(7)   Semua tujuan diukur / dites,
Untuk dapat mengolah dan merancang program pembelajaran dan proses, seorang guru hendaknya mengenal faktor-faktor penentu kegiatan pembelajaran. Faktor-faktor penentu tersebut adalah:
(1)   Karakteristik tujuan, yang mencakup pengetahuan, keterampilan, dan nilai yang ingin dicapai atau ditingkatkan sebagai hasil kegiatan,
(2)   Karakteristik mata pelajaran / bidang studi, yang meliputi tujuan, isi pelajaran, urutan, dan cara mempelajarinya,
(3)   Karakteristik siswa, mencakup karakteristik perilaku masukan kognitif dan afektif, usia, jenis kelamin, dan yang lain,
(4)   Karakteristik lingkungan / setting pembalajaran, mencakup kuantitas dan kualitas prasarana, alokasi jam pertemuan, dan yang lainnya,
(5) Karakteristik guru, meliputi filosofinya tentang pendidikan dan pembelajaran, kompetensinya dalam teknik pembelajaran, kebiasaannya, pengalaman pendidikannya, dan yang lainnya,
Agar seorang guru mampu menyelenggarakan kegiatan pembelajaran yang memiliki kadar CBSA tinggi, maka dalam memilih dan menentukan teknik pembelajaran atau sistem penyampaian hendaknya benar-benar mempertimbangkan kemanfaatan dari teknik pembelajaran yang dipilihnya. Teknik pembelajaran yang dapat diartikan sebagai prosedur rutin atau suatu cara yang telah ditentukan sebelumnya untuk menyampaikan pesan dengan bahan, alat, latar, dan orang (AECT, 1986:196), pada akhirnya akan membentuk sistem instruksional. Oleh karena itu pentingnya teknik pembelajaran ini, maka pemanfaatan teknik pembelajaran itu hendaknya bersesuaian dengan karakteristik, karakteristik guru, karakteristik tujuan, karakteristik mata pelajaran / bidang studi, dan karakteristik bahan alat pembelajaran.
Faktor yang benar-benar harus disadari oleh guru adalah karakteristik siswa yang dihadapi, baik karakteristik kognitifnya maupun karakteristik afektifnya. Kesadaran tentang karakteristik faktor-faktor yang berada di luar diri guru dan faktor-faktor yang ada didalam diri siswa, hendaknya dijadikan titik tolak bagi guru untuk menyadari akan tugasnya sebagai seorang pengajar. Sebagai pengajar, guru kiranya lebih pantas berperan sebagai katalisator yang menciptakan kegiatan pembelajaran melalui pemilihan teknik pembelajaran yang tepat, sehingga membuat proses belajar yang efektif.
Tiada seorangpun yang belajar hanya karena diperintah oleh orang lain. Inilah suatu kenyataan yang benar, benar-benar nyata. Suatu perangsang harus diciptakan untuk mendorong siswa supaya mau belajar. Akan tetapi perangsang itu mungkin sudah termasuk di dalam teknik pembelajaran itu sendiri: di dalam kesempatan untuk melakukan kegiatan, untuk berkreasi, dan untuk berbuat secara bebas. Dengan teknik pembelajaran yang diperhitungkan kemanfaatannya inilah akan dapat ditingkatkan CBSA, yang pada akhirnya akan membantu siswa menyempurnakan dirinya sendiri sehingga mampu menjadi katalisator yang semakin meningkat.
Pendekatan CBSA dapat diterapkan dalam pembelajaran dalam bentuk-bentuk :
1) Pemanfaatan waktu luang,
2) Pembelajaran individual,
3) Belajar kelompok,
4) Bertanya jawab,
5) Belajar mandiri,
6) Umpan balik,
7) Pendayagunaan lingkungan masyarakat, pengajaran unit,
8) Pameran/ display hasil karya siswa, dan
9) Mempelajari buku sumber (teks).
Beberapa diantaranya akan diuraikan di bawah ini :
1)                     Pemanfaatan waktu luang.
Pemanfaatan waktu luang di rumah oleh siswa memungkinkan dilakukannya kegiatan belajar aktif, dengan cara menyusun rencana belajar, memilih bahan untuk dipelajari, dan menilai penguasaan bahan bahan sendiri. Jika pemanfaatan waktu tersebut dilakukan secara seksama dan berkesinambungan akan memberikan manfaat yang baik dalam menunjang keberhasilan belajar di sekolah.
2)                     Pembelajaran individual.
Pembelajaran individual adalah pembelajaran yang disesuaikan dengan karakteristik perbedaan individu tiap siswa, seperti : minat abilitet, bakat, kecerdasan, dan sebagainya. Guru dapat mempersiapkan/ merencanakan tugas-tugas belajar bagi para siswa, sedang pilihan dilakukan oleh siswa masing-masing, dan selanjutnya tiap siswa aktif belajar secara perseorangan. Teknik lain, kegiatan belajar dilakukan dalam bentuk kelompok, yang terdiri dari siswa yang memiliki kemampuan, minat bakat yang sama.
3)                     Belajar kelompok.
Belajar kelompok memiliki kadar CBSA yang cukup tinggi. Teknik pelaksanaannya dapat dalam bentuk kerja kelompok, diskuis kelompok, diskusi kelas, diskusi terbimbing, dan diskusi ceramah. Dalam situasi belajar kelompok, masing-masing anggota dapat mengajukan gagasan, pendapat, pertanyaan, jawaban, kritik dan sebagainya. Siswa aktif berpartisipasi, berelasi dan berinteraksi satu dengan yang lainnya.
4)                     Bertanya jawab.
Kegiatan tanya jawab antara guru dan siswa, antara siswa dengan siswa, dan antar kelompok siswa dengan kelompok lainnya memberikan peluang cukup banyak bagi setiap siswa belajar aktif. Kadar CBSA-nya akan lebih besar jika pertanyaan-pertanyaan tersebut timbul dan diajukan oleh pihak siswa dan dijawab oleh siswa lainnya. Guru bertindak sebagai pengatur lalu lintas atau distributor, dan dianggap perlu guru melakukan koreksi dan perbaikan terhadap pertanyaan dan jawaban-jawaban tersebut.
5)                     Belajar Inquiry/ Discovery (Belajar Mandiri).
Dalam strategi belajar ini, siswa melakukan proses mental intelektual dalam upaya memecahkan masalah. Dia sendiri yang merumuskan suatu masalah, mengumpulkan data, menguji hipotesis, dan menarik kesimpulan serta mengaplikasikan hasil belajarnya. Dalam konteks ini, keaktifan siswa belajar memang lebih menonjol, sedangkan kegiatan guru hanya mengarahkan, membimbing, memberikan fasilitas yang memungkinkan siswa melakukan kegiatan inkuirinya.

2 komentar: